Jumat, 29 Oktober 2010

sholat qobliyah maghrib


Sholat Qobliyyah Maghrib
Sebuah fenomena yang terjadi di tengah masyarakat dimana dewasa ini, seiring dengan diusungnya kebebasan berfikir dan berpendapat, maka lahirlah “ Mujtahid-mujtahid baru yang bebas berfatwa padahal dia bukan termasuk orang yang layak untuk berfatwa. Hal ini dipicu oleh rasa fanatik yang berlebihan terhadap sebuah organisasi ataupun figure perorangan, sehingga yang muncul kepermukaan adalah rasa subyektivitas yang kental, dimana seringkali hal ini dapat mematikan logika untuk berfikir secara cerdas. Termasuk sebuah pernyataan yang cukup menyentakkan hati tiap-tiap orang yang mencintai sunnah adalah munculnya anggapan yang keluar dari tokoh yang kadang di anggap ustadz/muballigh bahwa sholat sunnah qobliyah maghrib itu tidak ada dasarnya dan dianggap bid’ah (anggapan seperti ini terjadi juga di Batam, hingga banyak masjid yang ketika selesai adzan maghrib langsung Iqamat/tak ada jeda yang cukup untuk sholat sunnah 2 rakaat) malah kadang jadi perdebatan yang tak berujung antara Imam dan atau pengurus juga jamaa’ah. Benarkah demikian? Tulisan ini adalah dalam rangka menjawab keragu-raguan yang menggelayuti sebagian hati kaum muslimin setelah mendengarkan pernyataan tersebut. Apalagi yang mengucapkannya adalah seorang yang dianggap pakar dalam bidang keagamaan. Berikut paparannya. 
Sholat qobliyah maghrib adalah sholat sunnah dua rakaat yang dilakukan sebelum melakukan shalat maghrib dan hukumnya sunnah ghairu muakkad ( fathul Wahhab, Juz I hal 56, Syaikh Zakarya Al Anshoriy.
Mengatakan bahwa sholat qobliyah maghrib tidak ada dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah pengingkaran terhadap sunnah yang mewajibkan pelakunya untuk bertaubat kepada Allah, sebab Rasulullah bersabda:
Sholatlah kalian sebelum sholat maghrib.” Beliau bersabda sampai tiga kali dan pada yang ketiga kalinya beliau bersabda” bagi orang yang ingin melakukannya.” (H.R. Bukhori. Shahih Bukhari Juz 2 hal 74 )
Juga riwayat dari Ibnu Hibban, hadits dari Abdullah Bin Mughoffal beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Nabi SAW sholat dua rakaat sebelum sholat maghrib”.
Ash Shon’aniy berkata bahwa ajaran sholat sunnah qobliyah maghrib ini berdasarkan qauliy ( ucapan ) dan Fi’liy ( perbuatan ) dari Nabi Muhammad SAW ( Subulussalam sarah Bulughul Maram Juz 2 hal 5 )
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas Bin Malik, beliau berkata “ Kami di Madinah, ketika muadzin telah selesai mengumandangkan adzan maghrib, maka para sahabat bergegas menuju tiang-tiang lalu sholat dua rakaat, sehingga orang asing yang masuk masjid mengira bahwa sholat maghrib telah selesai karena banyaknya orang yang melakukan sholat qobliyah maghrib. ( Riyadush Sholihin, hal 290 no 1125 )
Dan masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang sholat sunnah qobliyah maghrib yang diriwayatkan oleh para huffadz dan ashhabussunnan.
Hanya saja dalam pelaksanaannya hendaklah dilakukan dengan ringan (namun juga tidak terlalu cepat ) sebab apabila tidak, maka dapat menggeser sholat maghrib dari awwal waktu, hal yang demikian ini hukumnya makruh.
Melihat dari keterangan di atas dengan ditunjang dengan nash-nash yang shahih maka tidak ada jalan bagi kita untuk berkata bahwa sholat qobliyah maghrib tidak ada dasarnya, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah. Sebab dengan berkata demikian maka kita telah melangkahkan kaki kita dalam perangkap syetan yang senantiasa ingin menjauhkan kita dari ajaran Nabi SAW.
Memang benar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Bab sholat sunnah setelah maktubah, tidak disebutkan sholat sunnah qobliyah maghrib, beliau hanya menyebutkan bahwa sholat yang sering dikerjakan oleh Nabi adalah sholat dua rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah isya’ dan dua rakaat sebelum subuh ( Shahih Bukhari Juz2 hal 72 ) namun hadits ini tidak serta merta dapat menggugurkan disunnahkannya sholat qobliyah maghrib yang juga berdasarkan hadits- hadits shahih. Para ulama ahli fikh mengklasifikasikan sholat sunnah menjadi dua, yaitu sholat sunnah muakkadah yaitu sholat sunnah yang selalu dikerjakan oleh Rasul dan ghoiru muakkadah yaitu sholat sunnah yang dianjurkan oleh Rasul termasuk didalamnya sholat qobliyah maghrib. ( Fathul Wahhab Juz I hal 56 )
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sholat sunnah qobliyah maghrib adalah sunnah dan ada contohnya dari Rasulullah dan orang yang melakukannya akan diberi pahala oleh Allah SWT.
Wallahu a’lam .

sholat qobliyah maghrib


Sholat Qobliyyah Maghrib
Sebuah fenomena yang terjadi di tengah masyarakat dimana dewasa ini, seiring dengan diusungnya kebebasan berfikir dan berpendapat, maka lahirlah “ Mujtahid-mujtahid baru yang bebas berfatwa padahal dia bukan termasuk orang yang layak untuk berfatwa. Hal ini dipicu oleh rasa fanatik yang berlebihan terhadap sebuah organisasi ataupun figure perorangan, sehingga yang muncul kepermukaan adalah rasa subyektivitas yang kental, dimana seringkali hal ini dapat mematikan logika untuk berfikir secara cerdas. Termasuk sebuah pernyataan yang cukup menyentakkan hati tiap-tiap orang yang mencintai sunnah adalah munculnya anggapan yang keluar dari tokoh yang kadang di anggap ustadz/muballigh bahwa sholat sunnah qobliyah maghrib itu tidak ada dasarnya dan dianggap bid’ah (anggapan seperti ini terjadi juga di Batam, hingga banyak masjid yang ketika selesai adzan maghrib langsung Iqamat/tak ada jeda yang cukup untuk sholat sunnah 2 rakaat) malah kadang jadi perdebatan yang tak berujung antara Imam dan atau pengurus juga jamaa’ah. Benarkah demikian? Tulisan ini adalah dalam rangka menjawab keragu-raguan yang menggelayuti sebagian hati kaum muslimin setelah mendengarkan pernyataan tersebut. Apalagi yang mengucapkannya adalah seorang yang dianggap pakar dalam bidang keagamaan. Berikut paparannya. 
Sholat qobliyah maghrib adalah sholat sunnah dua rakaat yang dilakukan sebelum melakukan shalat maghrib dan hukumnya sunnah ghairu muakkad ( fathul Wahhab, Juz I hal 56, Syaikh Zakarya Al Anshoriy.
Mengatakan bahwa sholat qobliyah maghrib tidak ada dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah pengingkaran terhadap sunnah yang mewajibkan pelakunya untuk bertaubat kepada Allah, sebab Rasulullah bersabda:
Sholatlah kalian sebelum sholat maghrib.” Beliau bersabda sampai tiga kali dan pada yang ketiga kalinya beliau bersabda” bagi orang yang ingin melakukannya.” (H.R. Bukhori. Shahih Bukhari Juz 2 hal 74 )
Juga riwayat dari Ibnu Hibban, hadits dari Abdullah Bin Mughoffal beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Nabi SAW sholat dua rakaat sebelum sholat maghrib”.
Ash Shon’aniy berkata bahwa ajaran sholat sunnah qobliyah maghrib ini berdasarkan qauliy ( ucapan ) dan Fi’liy ( perbuatan ) dari Nabi Muhammad SAW ( Subulussalam sarah Bulughul Maram Juz 2 hal 5 )
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas Bin Malik, beliau berkata “ Kami di Madinah, ketika muadzin telah selesai mengumandangkan adzan maghrib, maka para sahabat bergegas menuju tiang-tiang lalu sholat dua rakaat, sehingga orang asing yang masuk masjid mengira bahwa sholat maghrib telah selesai karena banyaknya orang yang melakukan sholat qobliyah maghrib. ( Riyadush Sholihin, hal 290 no 1125 )
Dan masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang sholat sunnah qobliyah maghrib yang diriwayatkan oleh para huffadz dan ashhabussunnan.
Hanya saja dalam pelaksanaannya hendaklah dilakukan dengan ringan (namun juga tidak terlalu cepat ) sebab apabila tidak, maka dapat menggeser sholat maghrib dari awwal waktu, hal yang demikian ini hukumnya makruh.
Melihat dari keterangan di atas dengan ditunjang dengan nash-nash yang shahih maka tidak ada jalan bagi kita untuk berkata bahwa sholat qobliyah maghrib tidak ada dasarnya, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah. Sebab dengan berkata demikian maka kita telah melangkahkan kaki kita dalam perangkap syetan yang senantiasa ingin menjauhkan kita dari ajaran Nabi SAW.
Memang benar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Bab sholat sunnah setelah maktubah, tidak disebutkan sholat sunnah qobliyah maghrib, beliau hanya menyebutkan bahwa sholat yang sering dikerjakan oleh Nabi adalah sholat dua rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah isya’ dan dua rakaat sebelum subuh ( Shahih Bukhari Juz2 hal 72 ) namun hadits ini tidak serta merta dapat menggugurkan disunnahkannya sholat qobliyah maghrib yang juga berdasarkan hadits- hadits shahih. Para ulama ahli fikh mengklasifikasikan sholat sunnah menjadi dua, yaitu sholat sunnah muakkadah yaitu sholat sunnah yang selalu dikerjakan oleh Rasul dan ghoiru muakkadah yaitu sholat sunnah yang dianjurkan oleh Rasul termasuk didalamnya sholat qobliyah maghrib. ( Fathul Wahhab Juz I hal 56 )
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sholat sunnah qobliyah maghrib adalah sunnah dan ada contohnya dari Rasulullah dan orang yang melakukannya akan diberi pahala oleh Allah SWT.
Wallahu a’lam .

haji dan fenomena kemiskinan


Haji dan Fenomena Kemiskinan


Haji adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah).

 Berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji ini dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dikalangan masyarakat Indonesia sendiri lebih akrab dengan sebutan Hari raya haji atau hari raya kurban, karena perayaan ibadah haji ini juga ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.

Dahulu pada masa nabi Muhammad saw. ada seorang miskin yang ingin menunaikan ibadah haji. Ia rupanya telah mengumpulkan semua biaya ibadah haji itu selama 20 tahun. Namun, ketika dalam perjalanan mulia menuju makkah, ia menyaksikan banyak kaum muslimin yang sedang dilanda kemiskinan dimana-mana. Tak tega melihat saudara-saudaranya yang seiman sedang membutuhkan bantuan, ia pun kemudian mengurungkan niatnya untuk ziarah ke makkah. Selanjutnya Ia bagi-bagikan semua hartanya kepada mereka. Persoalan itu kemudian sampai ketelinga nabi dan nabi pun haru mendengarnya. Selanjutnya nabi bersabda " Hajimu sah dan kamu berhak masuk syurga".

Kisah ini memang kurang dikenal oleh umat islam Indonesia. Pemahaman agama yang mereka ketahui selama ini sebatas pemahaman bahwa haji adalah ziarah ke baitullah lahir dan bathin sebagai syarat penyempurnaan iman seseorang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Indonesia mencapai 17,9 persen. Menurut Bank Dunia, kemiskinan mencapai hampir separuh rakyat Indonesia, 49 persen. Ini menunjukkan angka yang cukup fantastis sebagai Negara yang kaya raya akan sumber daya alamnya.

Bank Dunia mencatat, penghasilan separuh penduduk Indonesia di bawah dua dollar AS. Itu baru data kemiskinan, belum lagi jumlah pengangguran murni, semi pengangguran, dan orang yang terancam PHK (dirumahkan). Dari data kemiskinan itu akan diikuti derita sosial, seperti tingginya putus sekolah, mudah terjangkit wabah penyakit, perceraian, kriminalitas tinggi, dan konflik sosial kian rawan.

Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah daerah-daerah yang terkena bencana alam. Bahkan, Hingga kini masih banyak dari mereka yang belum bisa keluar dari kesulitan hidup. Pertanyaannaya kemudian pantaskah mereka menghambur-hamburkan uang dengan meninggalkan saudaranya yang masih membutuhkan ?

Salah satu syarat dari diperbolehkannnya seseorang menunaikan haji adalah bahwa perjalaan dalam keadaan aman dan tidak dalam kondisi perang. Jika dimaknai secara social bangsa kita sedang mengalami peperangan yang cukup dahsyat dengan berbagai fenomena kemiskinan yang semakin parah. Ini adalah perang terhadap kemiskinan dan siapapun tidak sah menunaikan ibadah haji jika kondisi Negara dalam keadaan tidak aman.

Konteks sosial ini seharusnya bisa mendorong umat Muslim untuk berani menafsirkan ibadah haji secara subtansial. Dimana haji tidak harus difahami secara tekstual. Akan tetapi akan lebih baik jika dimaknai dengan kontekstual/realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Artinya, masyarakat disekitar kita yang sedang mengalami kesulitan hidup mau tidak mau sangat membutuhkan uluran tangan kita. Terutama bagi orang-orang yang mampu untuk haji. Yang dalam hal ini kemudian dinamakan haji sosial. Merujuk pada kisah diatas maka tidak ada salahnya jika pemerintah menekan para jamaah haji terutama yang sudah berulang kali agar semua dana kenberangkatan di hibahkan kepada fakir miskin. Haji sosial adalah haji yang amat mulia, dicintai fakir miskin dan diridhoi Allah. Inilah sebenarnya haji mabrur.

Sekali lagi, andaikata pemahaman tentang perlunya haji sosial ini bisa diterapkan di kalangan umat Islam, penderitaan saudara-saudara Muslim akan bisa dikurangi. Pemerintah tidak perlu minta bantuan negara lain dengan menjual kemiskinan dan bencana alam. Berbagai kebutuhan sosial kemanusiaan itu bisa dipenuhi dari rakyat Indonesia sendiri melalui haji sosial.

Mungkin haji sosial inilah yang dalam bahasa sufinya termasuk ibadah yang dirahasiakan (sirri). Orang yang berani berhaji sosial berarti sudah mampu melepaskan diri dari kungkungan formalisme agama dan merambah jalan baru memasuki cita-cita sosial yang menjadi misi utama agama.

Jauhnya pemahaman agama pada dimensi subtansial karena manusia sering dilingkupi dengan berbagai kepentingan duniawi.

Haji bukan hanya urusan surga dan neraka, tetapi memiliki pengaruh sosial yang tinggi dan prestise. Haji secara duniawi sering dimaknai sebagai puncak pencapai ibadah dan stempel kuat bahwa pelakunya pasti bermoral tinggi lagi mulia.

Fenomena prestise dan status sosial inilah yang mendorong kuat bagi muslimin bahwa jika ingin menjadi orang berkualitas tinggi ibadahnya harus pergi haji ke Mekkah. Apa pun jalannya harus ditempuh.

Maka, tidak aneh sering ditemukan, banyak pejabat yang minta fasilitas negara agar bisa naik haji. Para koruptor juga berlomba untuk bisa berulang kali haji dan umroh. Para petani harus menjual sawah dan ladang dan rela menjadi miskin setelahnya asal bisa pergi haji.

Itu semua dilakukan karena ibadah haji bisa dijadikan bungkus atas ketidakberesan moralitas sosial manusia. Sehingga makna haji yang sesungguhnya tidak kita temukan. Dalam hal ini pemerintah harus bisa selektif dalam memberangkatkan jamah haji. Pemetrintah tidak perlu lagi untuk membiayai para pejabat-pejabatnya menunaikan haji dengan pembiayaan uang Negara, karena hal itu lebih bersifat pemborosan dan akan lebih baik jika dana yang berjumlah besar itu digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Itu akan lebih baik dari pada memfasilitasi para koruptor untuk meraih titel haji yang dengan hajinya itu nanti akan lebih leluasa menjadi tikus berpeci putih. Wallaahu a’alam.