Kamis, 06 Januari 2011

Dosa Politik Dalam Fitrah Tahun Baru



Gemerlap silau kembang api memenuhi arasy langit malam. Singgasana bintang seakan tertutupi pijaran bunga api. Senyum ayu rembulan setia menemani gemerlap malam pergantian tahun. Semarak sorai terompet menggema di tengah alun-alun kota. Tepat jam 00.00 (12 malam), tahun telah mengganti jubah sucinya. Tahun 2011 telah singgah di pelaminan menanti kecupan manis sang revolusioner. Tahun 2011, laksana bayi baru lahir dari gua garba sang ibu. Ia benar-benar suci sebagaimana fitrah manusia.

Mungkinkah kesucian itu ternodai, ketika ia telah lahir di bumi kekacauan dalam  negeri antah-berantah. Sungguh sayang, tahun 2011 lahir di muka bumi yang penuh gegap gempita. Pertumpahan darah kekacauan meluber kemana-mana. Kejahatan telah menjadi penguasa muka bumi. Mungkinkah fitrah tahun baru 2011 ini mampu membawa misi perubahan dan menyelamatkan paradigma dunia?

Tahun 2011 merupakan tahun yang penuh misteri. Menguatnya sinisme publik terhadap penyelenggara Negara bersumber dari penanganan korupsi dan penyelewengan hukum lainnya. Publik meyakini bahwa muara dari carut-marut penanganan korupsi selama ini disebabkan oleh tarikan kepentingan politik kekuasaan. Sikap apriori publik cenderung mengarah pada sikap apatis dan pesimistis terhadap penegakan hukum di Indonesia .

Ironis, akhir-akhir ini hukum sangat mudah dibeli dan dipermainkan segelintir orang yang berduit lebih. Bagi mereka, uang adalah segala-galanya. Uang mampu membeli dan mengeluarkan orang dari penjara. Lantas, bagaimana keadilan di dunia ini bisa ditegakkan setegak-tegaknya, kalau penegaknya dapat dengan mudah dibeli oleh segelintir orang?

Pengakuan Gayus HP Tambunan telah menjadi penegas fakta yang mengonfirmasi bahwa hukum dapat dibeli dan dipermainkan dengan uang. Ini sebagai bukti lemahnya integritas aparatur penegak hukum di Indonesia . Akibatnya, kepentingan politik dan kekuasaan kapital lebih berpengaruh dan bekuasa dominan dalam proses hukum.     

Praktik korupsi yang berlangsung selama ini telah akut. Seolah-olah publik telah frustasi terhadap penyelenggaraan hukum di negeri ini. Sikap apatisme publik tertuju nyaris pada semua institusi penegak hukum. Lembaga-lembaga penegak hukum telah diragukan keseriusannya. Rasanya memang sulit menembus benteng-benteng kepentingan politik yang memiliki kekuasaan besar dibanding pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.

Aristoteles mengatakan, manusia ibarat seekor binatang yang terdorong lingkungan/alam untuk merumuskan tatanan kehidupan berasaskan budi luhur. Asosiasi politik Negara lahir dari proses alam dan perkembangan kehidupan manusia. Negara merupakan merupakan bentuk struktur sosial tertinggi yang meniti ke jenjang evolusioner.

Ibnu Taimiyah (1262), bahwa dalam terminologi agama, dalam diri manusia memuat tiga unsur nafsu. Yakni, nafsu mutmainnah, ammarah, dan lawwamah. Nafsu mutmainnah mencerminkan kondisi jiwa yang tenang. Kondisi inilah yang harus menang. Artinya, harus memenangkan pertarungan melawan sifat ammarah (pemarah) dan sifat lawwamah (menyesal). Dengan ini, agar manusia memperoleh stabilitas, kedamaian, dan ketenangan hidup. Manusia yang senantiasa memperoleh bimbingan nafsu mutmainnah akan tampil sebagai sosok yang adil dan merujuk pada ajaran kebenaran.

Ibn Atha’illah As-Sakandariy, dalam Syarh al-Hikam, mencoba mengungkap tentang permulaan kriminalitas. Sebagaimana teorinya, ashlu kulli ma’shiatin wa ghaflatin ar-ridha ‘an an-nafsi. Bahwa pokok dari segala kemaksiatan dan kelaliman adalah ridha terhadap hawa nafsu. Nafsu di sini berarti nafsu yang menjurus kepada kemaksiatan. Yakni, nafsu ammarah dan lawwamah. Apabila seseorang telah dikuasai hawa nafsu, maka butalah semua mata batinnya untuk menerima hidayah Tuhan.

Kalau sudah begini, berarti pemimpin tidak ubahnya dengan pemulung. Pemulung merupakan salah satu profesi yang sering mengganggu kebersihan lingkungan. Tapi, dengan alasan kemanusaiaan pemulung tak bisa disalahkan. Tanggungjawab kerap kali diabaikan. Bayangkan, setelah diberi kesempatan mencari barang bekas, setelah selesai bukannya dikembalikan seperti semula, malah dibiarkan berantakan.

Bedanya, kalau pemulung hanya mengumpulkan barang bekas. Sedangkan pemimpin berperilaku, belajar, dan mengambil keputusan dari hasil mengumpulkan pengetahuan dan informasi bekas. Dengan menjadi pengumpul pengetahuan dan informasi bekas, akan semakin mempertumpul daya pikir. Akibatnya, mereka tidak mempunyai inovasi pemikiran yang mengarah pada ide creative value.Bagi sebagian masyarakat, politik dimaknai dengan obral janji palsu. Masyarakat tahu bahwa politik hanyalah sebuah kendaraan berkuasa. Sedangkan kekuasaan tidak pernah berpihak bagi kepentingan rakyat. Permasalahannya sekarang adalah tidak hanya pada memperbaiki citra, mengobati penyakit kronis trauma politik, labih dari itu adalah membongkar moralitas perpolitikan yang cenderung kotor dan korup. Ironisnya, bahkan diabsahkan kekotorannya.

Untuk melakukan hal itu tentunya bukanlah hal yang mudah. Masing-masing kita memiliki keterbatasan sendiri-sendiri. Untuk itu, dibutuhkan upaya serius dan berkesinambungan, diawali dengan pembongkaran moralitas pribadi dan moralitas parpol dalam menunjukkan jati dirinya. Selain itu, juga harus senantiasa berkhidmat demi kepentingan rakyat. Rambu-rambu moralitas yang harus diperhatiakan dalam rangka menjaga jati diri sebagai garda terdepan pembela rakyat, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, mendasari kegiatan politik pada moralitas ibadah. Disini harus dipahami bahwa kehidupan merupakan satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, tidak perlua adanya parsialisasi bagian. Dengan moralitas ibadah ini, pelaku politik tak layak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan prinsip ubudiyah. Kegiatan yang di usung harus mencerminkan pembelaan terhadap kebenaran sebagai refleksi niat ibadah.

Kedua, memperluas jaringan kerja dakwah. Kerja di ranah politik harus dimaknai sebagai upaya menebar dakwah sejak dari masyarakat hingga ke pusat pengambilan keputusan. Ketiga, melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik masyarakat. Kerja politik harus berorientasi pada pendidikan dan pemberdayaan politik masyarakat. Niatan ibadah yang telah dibangun dalam aktivitas perpolitikan harus membuahkan hasil yang positif bagi pencerdasan masyarakat, pendewasaan peran perpolitikan dan peningkatan kontribusi mereka dalam berbagai pengambilan keputusan.

Keempat, melakukan proses regenerasi. Kegiatan perpolitikan harus menunjukkan sikap kedinamisan dalam regenerasi. Sehingga, dari waktu ke waktu pemberdayaan potensi masyarakat senantiasa terjaga. Generasi muda berperan dalam kontekstualisasi dakwah sesuai zamannya. Kelima, bersungguh-sungguh membela hak rakyat. Apalagi ada wakil rakyat yang tidak sesuai dengan semangat pembelaan terhadap kebenaran, harus mendapat peringatan dan teguran, atau di tindak dengan lebih tegas.

Kang Said: Islam Membela Non Muslim




Jakarta, NU Online
Bukti bahwa Islam sangat menghormati dan melindungi non Muslim banyak terekam dalam al Quran. Banyak kisah-kisah non Muslim yang justru ada dalam al Quran dan tidak tersebut di kitab suci mereka. Demikian penjelasan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Refleksi Awal Tahun PBNU, Selasa, 4 Desember 2011.

"Ketika terjadi Perang antara Romawi (Katolik) melawan Persia (Majusi) Rasulullah berharap Romawi menang, namun nyatanya Romawi kalah dan turunlah surat ar Rum yang menghibur. Dan ini diabadikan dalam al Quran," kata pria yang akrab disapa Kang Said ini.

Dalam surat ar Rum disebutkan bahwa tidak lama lagi Romawi akan segera menang dan di saat itulah kaum Mu'min harus ikut bergembira menyambut kemenangan Romawi.

Kang Said bercerita, suatu saat Rasulullah menerima hadiah dari Gubernur Mesir, yakni Mariah yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Mariah adalah seorang wanita yang beragama Ortodok Koptik. Rasulullah berkata kepada Khalifah Umar, "Nanti Mesir akan berjaya melalui tanganmu (kekuasaanmu), saya titipkan keluarga Mariah kepadamu."

Kang Said menjelaskan bahwa Rasulullah menitipkan keluarga Mariah adalah untuk menjaga agama Mariah sebelumnya yakni Ortodok Koptik. "Dan akhirnya terbukti, ketika Perang Salib, tidak satupun orang Ortodok Koptik yang diserang. Dan hingga saat ini Ortodok Koptik tetap eksis di Alexandria," jelas Kang Said.

Kisah pembantaian Nasrani Najran diabadikan oleh al Quran dalam surah al Buruj. Saat itu Raja Dzu Nuwas dengan kejam membantai Nasrani Najran dan kemudian dimasukkan dalam lubang dan dibakar hidup-hidup. "Kisah ini terekam jelas dalam al Quran yang justru tidak disebutkan oleh Injil," jelas Kang Said.

"Jadi jangan dikira bahwa dalam kisah itu adalah cerita orang Islam, itu adalah kisah Nasrani Najran," tegas pria yang akrab disapa Kang Said ini.

Korban yang terbunuh akibat kekejaman Dzu Nuwas ini hanya memiliki satu kesalahan, yakni beriman kepada Allah.

Cerita lain tentang pembelaan Islam terhadap non Muslim juga terjadi pada saat Khalifah Umar menerima kunci dan berkunjung ke gereja di Palestina. Saat itu masuk waktu ashar dan Khalifah Umar ingin bergegas melaksanakan salat. Kemudian Sofrinus, yang menyerahkan kunci, memersilakan Umar untuk salat di dalam gereja, namun Umar menolaknya.

Lalu Kang Said menjelaskan alasan penolakan Umar, "Khalifah Umar menolak bukan karena salat di dalam gereja. Namun beliau takut jika suatu saat nanti gereja tersebut akan direbut kaum Muslimin dengan alasan beliau pernah salat di sana."

Kisah-kisah perlindungan Islam terhadap non Muslim ini, menurut Kang Said, harus bisa dijadikan contoh teladan bagi kaum Muslimin agar tidak melakukan tindakan semena-mena terhadap non Muslim. (bil)