Kamis, 03 Februari 2011

Sejarah Hari Jum’at dan Keistimewaan Sholat Jum’at


Hari Jum’at adalah sayyidul ayyam. Artinya Jum’at mempunyai keistemewaan dibandingkan hari lain. Jika nama-nama hari yang lain menunjukkan urutan angka (ahad artinya hari pertama, itsnain atau senin adalah hari kedua, tsulatsa atau selasa adalah hari ketiga, arbi’a atau Rabu adalah hari keempat dan khamis atau kamis adalah hari kelima), maka Jum’at adalah jumlah dari kesemuanya.

Menurut sebagian riwayat kata Jum’at diambil dari kata jama’a yang artinya berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Kata Jum’at juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya umat muslim untuk melaksanakan kebaikan –shalat Jum’at-.

Salah satu bukti keistimewaan hari Jum’at adalah disyariatkannya sholat Jum’at. Yaitu shalat dhuhur berjamaah pada hari Jum’at. -Jum’atan-. Bahkan mandinya hari Jum’at pun mengandung unsur ibadah, karena hukumnya sunnah.

Dalam Al-Hawi Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan sunnahnya mandi pada hari Jum’at. Meskipun sholat Jum’at dilaksanakan pada waktu sholat dhuhur, namun mandi Jum’at boleh dilakukan semenjak dini hari, setelah terbit fajar. Salah satu hadits menerangkan bahwa siapa yang mandi pada hari Jum’at dan mendengarkan khutbah Jum’at, maka Allah akan mengampuni dosa di antara dua Jum’at.

Oleh karena itu, baiknya kita selalu menyertakan niat setiap mandi di pagi hari Jum’at. Karena hal itu akan memberikan nilai ibadah pada mandi kita. Inilah yang membedakan mandi di pagi hari Jum’at dengan mandi-mandi yang lain.

Empat Puluh Orang
Shalat Jum’at -Jum’atan- bisa dianggap sebagai muktamar mingguan –mu’tamar usbu’iy- yang mempunyai nilai kemasyarakatan sangat tinggi. Karena pada hari Jum’at inilah umat muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan.

Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturrahim, bertegur sapa, saling menjalin keakraban. Dalam kehidupan desa Jum’atan dapat dijadikan sebagai wahana anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok timur dan sebagainya.

Begitu pula dalam lingkup perkotaan, Jum’atan ternyata mampu menjalin kebersamaan antar karyawan. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan seterusnya.

Kebersamaan dan silaturrahim ini tentunya sulit terjadi jikalau Jum’atan boleh dilakukan seorang diri seperti pendapat Ibnu Hazm, atau cukup dengan dua orang saja seperti qaul-nya Imam Nakho’i, atau pendapat Imam Hanafi yang memperbolehkan Jum’atan dengan tiga orang saja berikut Imamnya.

Oleh sebab itu menurut Imam Syafi’i Jum’atan bisa dianggap sah jika diikuti oleh empat puluh orang lelaki. Dengan kat lain, penentuan empat puluh lelaki sebagai syarat sah sholat Jum’at oleh Imam Syafi’i memiliki faedah yang luar biasa.

Hal ini membuktikan betapa epistemogi aswaja -ahlussunnah wal jama’ah- yang dipraktikkan oleh Imam Syafi’i selalu mendahulukan kepentingan bersama. Kebersamaan dan persatuan umat dalam pola pikir aswaja -ahlussunnah wal jama’ah- adalah hal yang sangat penting. Tidak hanya dalam ranah aqidah dan politik saja, tetapi juga dalam konteks ibadah. (Ulil Hadrawi)

Janji, Wasiat dan Ajaran Sang Wali



Sebagai pewaris Nabi, para waliyullah mendapat hak istimewa memberikan syafa’at bagi murid dan pecintanya. Namun, persyaratannya tak mudah: meneladani sang wali dan mengikuti ajarannya yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah.
                Dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jailani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji, termaktub sebuah janji sang wali, “Tidak seorang muslim pun yang melewati pintu madrasahku kecuali Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat. Aku pasti akan menolong siapa pun yang tersesat jalan, baik ia sahabat-sahabatku, murid-muridku, maupun pecintaku. Kudaku selalu terkekang, panahku selalu terbentang, dan pedangku senantiasa terhunus untuk menolong mereka. Aku pasti menjaga dan menolong, meskipun mereka tak menyadarinya.” Kalimat indah itu diucapkan oleh penghulu para kekasih Allah SWT, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, yang juga Sulthanul Awliya, “raja” para waliyullah.
                Janji itu memang syafa’at (pertolongan), yang oleh Rasulullah SAW, dengan izin Allah SWT, juga didelegasikan kepada beberapa golongan istimewa, seperti para awliya, guru mursyid, dan hufazhul Quran – para penghafal Al-Quran yang istiqamah menjaga dan mengamalkan Al-Quran. Para penghafal Al-Quran, misalnya, mempunyai hak memberi syafa’at kepada 10 orang keluarganya. Nilai syafa’at itu tentu tak setinggi Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, syafa’at agung, sebagai hak istimewa Rasulullah SAW.
Banyak keteladanan, nasihat, dan ajaran Syaikh Abdul Qadir yang perlu dipelajari dan diamalkan jika seseorang ingin dianggap patut menyandang status sebagai pecintanya, muridnya, atau sahabatnya. Yang paling awal harus ditanamkan ialah perasaan husnuzhan, atau baik sangka, dan cinta kepada sang guru. Ada beberapa murid yang sebelumnya tidak simpati, bahkan cenderung membencinya, namun kemudian berbalik mencintainya dan berguru kepadanya. Seorang di antaranya Syaikh Abduh Hamad bin Hammam.
“Pada mulanya aku tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir. Walaupun aku seorang saudagar yang paling kaya di Baghdad, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun puas hati. Pada suatu hari, ketika menunaikan shalat Jumat, aku tidak mempercayai karamah Syaikh Abdul Qadir. Sampai di masjid, aku dapati beliau sudah di sana. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, kebetulan persis di depan mimbar. Ketika Syaikh Abdul Qadir mulai berkhutbah, ada beberapa perkara yang menyinggung perasaanku.”
Syaikh Abduh Hamad melanjutkan, “Tiba-tiba, aku ingin buang air besar, sementara untuk keluar dari masjid tentu sangat sulit. Aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut kalau-kalau aku buang air besar di dalam masjid. Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir pun memuncak. Tapi, seketika itu beliau turun dari mimbar dan berdiri di depanku. Sambil terus berkhutbah, beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku merasa sedang berada di suatu lembah hijau yang sangat indah.”
Dalam jubah sang waliyullah itu, Syaikh Abduh Hamad seperti berada di sebuah lembah sunyi dengan anak sungai yang airnya mengalir tenang. Maka segeralah ia menunaikan hajatnya, lalu mengambil air wudhu. Dan ketika ia berniat menunaikan shalat, tiba-tiba sudah berada di tempat semula: di dalam jubah Syaikh Abdul Qadir – yang segara mengangkat jubahnya lalu kembali berkhutbah di mimbar. “Aku sangat terkejut. Bukan karena perutku sudah lega, tapi juga perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan jahat lainnya, semuanya hilang,” tambahnya.
Selepas sembahyang Jumat, Syaikh Abduh Hamad pulang. Di jalan ia baru tahu kunci rumahnya hilang. Ia pun lalu kembali ke masjid untuk mencarinya, tapi ia tidak menemukannya sehingga terpaksa memesan kunci baru. Keesokan harinya ia dan rombongan meninggalkan Baghdad untuk berniaga. Tiga hari kemudian, ia melewati sebuah lembah yang indah dengan anak sungai yang airnya jernih. Ia merasa seperti pernah buang hajat di sungai itu.
“Aku lalu mandi di sungai. Setelah selesai dan mau mengambil jubah, aku menemukan kembali kunci pintu rumahku, yang rupa-rupanya tertinggal dan tersangkut pada sebatang dahan di sana. Setelah urusan dagangku selesai, aku segera menemui Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di Baghdad dan menjadi muridnya,” tuturnya.
Memang, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah ulama kharismatis, bahkan seorang sufi besar yang kepribadiannya sangat dikagumi. Dalam kitab Rijalul Fikr wa Da’wah fil Islam, Sayyid Abu Hasan An-Nadwi mengungkapkan, “Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah sosok yang berkepribadian bersih, bersemangat, sangat kuat pengaruhnya. Dia seorang zahid, qana’ah, dan kuat menahan syahwat. Dia laksana mercusuar iman yang menerangi orang yang tersesat dalam kegelapan.”
Dalam taushiyah-taushiyahnya yang sangat menyentuh qalbu, sang waliyullah selalu mengingatkan agar setiap orang berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, setia menjalankan perintah Allah dan Rasul, menjauhi larangan-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam mengendalikan nafsu. Ditekankannya agar pada taraf yang lebih tinggi ia bisa berserah diri sepenuh hati kepada kehendak-Nya. Menurutnya, ada tiga hal yang mutlak harus dijiwai dan diamalkan oleh seorang mukmin dalam segala keadaan. Pertama, menjaga perintah Allah; kedua, menghindar dari segala yang haram; ketiga, ridha dengan takdir Allah.
Salah satu wasiatnya yang sangat terkenal ialah ujarannya sebagai berikut, “Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah. Patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyekutukan Allah. Selalu sucikanlah Allah, dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pertahankanlah kebenaran-Nya, jangan pernah ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqamahlah dengan berharap kepada-Nya. Bekerjasamalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam.”
Bersatu dengan-Nya
Sementara dalam ranah tasawuf ia senantiasa megingatkan, “Tabir penutup qalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau belum melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah dan cahaya-Nya.
                Jika engkau mengatakan, jiwamu bersatu dengan Allah dan mencapai kedekatan dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki yang dimaksud ialah berlepas diri dari makhluk dan kedirian, serta sesuai dengan kehendak-Nya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendak-Nya. Inilah keadaan fana dirimu, dan dalam keadaan itulah engkau bersatu dengan-Nya, bukan bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Allah tak terpadani oleh semua ciptaan-Nya’? Istilah bersatu dengan-Nya hanya lazim dikenal oleh mereka yang mengalaminya.”
                Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang mengajarkan penafian hasrat akan kebendaan duniawiah. Sudah sejak awal ia mengkhawatirkan kecintaan manusia kepada materi yang berakibat ketidakseimbangan ruhani. Sebab, menurutnya, manusia yang sempurna ialah yang mempunyai keseimbangan materi dan spiritual, yang satu sama lain saling menjaga dengan porsi yang sama, porsi yang adil.
                Ia memang tokoh unik. Meski sebagian sufi sering dicitrakan lebih mementingkan haqiqat daripada syari’at – karena perilakunya yang dianggap nyeleneh – ia justru dengan tegas menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at sebagai landasan berthariqah dalam rangka menggapai haqiqat dan ma’rifat.
                Keseimbangan Tiga Pilar. Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.
                Misalnya dalam masalah syafa’at Rasulullah SAW, Syaikh Abdul Qadir menulis, “Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa Allah SWT akan menerima syafa’at Rasulullah SAW bagi umatnya yang telah telanjur berbuat dosa, baik dosa besar maupun kecil, yang karenanya mereka ditetapkan masuk neraka, baik syafa’at yang berlaku umum bagi semua umat sebelum proses hisab (perhitungan amal), maupun yang berlaku khusus bagi mereka yang telah masuk neraka.”
                Dengan syafa’at tersebut seluruh orang beriman yang berada di neraka kelak akan keluar, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Selagi ada sebutir dzarrah (benda terkecil) keimanan dalam qalbu seseorang, dan selama ia mengakui dengan tulus bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT, orang itu akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau, “Syafa’atku, insya Allah, akan didapatkan oleh siapa saja dari umatku selama ia tidak mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu.” (HR Abu Hurairah).
                Sebagaimana Rasulullah SAW mempunyai syafa’at, para nabi yang lain pun memilikinya, begitu pula orang-orang shiddiq (yang kepercayaannya akan kebenaran Rasul sangat teguh), serta orang-orang shalih – yang semuanya tentu dengan izin Allah SWT. Dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang layak menjadi salah seorang wasilah (perantara) dalam berdoa, karena ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Namun perlu diingat, ketinggian derajat sang Sulthanul Awliya itu di sisi Allah diperoleh berkat kedalaman ilmunya dalam bidang syari’at.
                Cahaya yang Menyesatkan
                Kisah penutup berikut ini menggambarkan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir yang menuntunnya mampu melampaui semua godaan yang menghadang laku suluknya.
Ketika suatu malam Syaikh Abdul Qadir bermunajat di zawiyahnya, tiba-tiba muncul sesosok cahaya yang sangat terang benderang di depannya. Dengan suara yang agung, cahaya itu berkata, “Hai Abdul Qadir, aku adalah tuhanmu. Karena ketekunan ibadahmu, mulai saat ini aku halalkan bagimu semua perkara yang haram.”
                Tanpa bergerak, tapi dengan ekspresi murka, Syaikh Abdul Qadir menghardik cahaya itu, “Enyahlah engkau, wahai mahkluk terkutuk!”
                Seketika, cahaya terkutuk itu padam meninggalkan kepulan asap tipis. Tiba-tiba suara ghaib terdengar lagi, “Kau memang hebat, Abdul Qadir. Keluasan pengetahuanmu mengenai syari’at dan hukum Allah telah menyelamatkanmu. Padahal, sebelum engkau, aku telah berhasil menyesatkan 70 orang sufi dengan cara yang sama seperti ini.”
                Ketika pengalaman spiritual itu diceritakan kepada murid-muridnya, salah seorang di antara mereka bertanya, “Dari mana Tuan tahu cahaya itu adalah iblis, bukan Allah?”
                Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapannya, ‘Aku halalkan bagimu semua perkara yang haram’. Aku tahu, tidak mungkin Allah SWT akan memerintahkan sesuatu yang buruk dan keji.” Begitulah ketinggian ilmu dan keteguhan iman seorang waliyullah.