Kamis, 07 April 2011

Siapakah Wali Nikah Nabi Adam

Dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah disepakati bahwa manusia pertama yang diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala adalah Nabi Adam as. Bukan manusia kera seperti pendapat teori evolusi.  Kemudian dari tulang rusuk Nabi Adam itu diciptakanlah Ibunda Hawa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakah yang meberi nama Nabi Adam dan siapa yang menjadi wali pernikahannya dengan Ibunda Hawa?

Mengenai nama Nabi Adam as. Jelas Allah subhanahu wa ta’ala yang memberikan nama tersebut. Seperti yang tercantum dalam al-Baqarah: ayat 31

وعلم أدم الأسماء كلها
Artinya; Dan Allah ajarkan kepada Adam segala Nama

Dalam hal ini tentunya nama Adam itu sendiri yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Selanjutnya, siapakah yang menjadi wali pernikahan antara Adam dan Hawa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita Assab’iyyat fi Mawaidzil Bariyyat Karangan Abi Nashr Muhammad bin Abdurrahman alhamadzany pada Hamisy-nya almajalisussaniyyah halaman 111-112 sebagai berikut:

فناداهاادم من أنت ولمن أنت فقالت حواء: خلقنى الله تعالى لأجلك فقال ائتينى قالت بل أنت فقام ادم وهب اليها فمن ذلك الوقت جرت العادة بذهاب الرجل الى المرأة فلما قرب منها وأراد أن يمد يده اليها سمع النداء ياادم أمسك فان صحبتك مع حواء لاتحل الابالصداقة والنكاح ثم أمر سبحانه وتعالى سكان الجنة بأن يزينوها ويزخرفوها ويحضروها موائدالنثار وأطباقها ثم أمر ملائكة السموات بأن يجتمعوا تحت شجرة طوبى فاجتمعوا ثم اثنى الله بنفسه على نفسه وزوجها ادم عليه السلام فقال الله تعالى الحمد ثنائى والعظمة ازارى والكبرياء ردائى والخلق كلهم عبادى وامائى اشهد ملائكتى وسكان سمواتى زوجت حواء بأدم بديع فطرتى .اهـ .

Setelah Allah swt. menjadikan Hawwa dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri, maka diserunyalah Hawa dengan katanya : Siapa engkau? Dan untuk siapa engkau? Maka menjawablah Hawa; Aku dijadikan Allah untuk keperluan engkau. maka kata Adam: marilah datang kepadaku. Jawab Hawa tidak engkaulah yang datang ke sini! lalu berdirilah Adam, datang menghampiri Hawa. Sejak mulai itulah berlaku adat laki-laki mendatangi wanita. Maka tatkala sudah mendekat Adam kepada Hawa, dan berkehendak Adam memanjangkan tangannya kepada Hawa didengarnyalah suatu seruan: “hai Adam. Tahan dulu! Sesungguhnya pergaulanmu dengan Hawa itu belum halal, kecuali dengan maskawin dan nikah syah dan Allah memperintahkan semua penduduk surga menghiyasi dan menghidangkan berbagai makanan lengkap dengan talamnya. Kemudian Allah memerintahkan para Malaikat untuk berkumpul di bawah pohon kayu Thumba dan setelah berkumpul semuanya maka bertasbihlah Allah subhanahu wa ta’ala dengan memuji dirinya sendiri dan dinikahkanlah Adam as. Maka Allah berfirman; alhamdu itulah puji-Ku, kebesaran itulah kain-Ku, kesombongan itulah selendang-Ku, dan makhluk semua adalah hamba-hamba-Ku. Saksikanlah wahai para malaikat dan penduduk langit-Ku, Aku telah kawinkan Hawa dengan Adam makhluk buatanku yang baru.

Yang Najis dan Yang Haram



Setiap benda yang najis, haram dimakan. Tetapi tidak semua benda yang haram dimakan itu najis. Dalam bahasa ushul fiqih dikenal istilah illat, illat adalah alasan yang digunakan sebagai dasar pengambilan sebuah hukum. Berhubungan dengan hukum haram, ada tiga alasan –illat-, pertama haram karena memudharatkan. Kedua, haram karena dihormati, dan ketiga haram karena najis. Agar lebih jelas dicontohkan seperti berikut.

Haram dengan illat mudharat, misalnya mengkonsumsi/memakan paku halus. Meskipun paku itu tidak najis, tetapi haram dimakan. Karena memakan paku halus dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit berbahaya.

Haram dengan illat dihormati, misalnya memakan daging manusia ataupun minum air mani, meskipun keduanya suci. keharaman ini lebih pada penghormatan dua hal tersebut.

Haram dengan illat najis, misalnya makan daging babi. Keharaman daging bagi pada dasarnya dikarenakan kondisi babi itu sendiri yang merupakan perkara najis seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an. Adapaun setelah ada penelitian ternyata daging babi mengandung mudharat/penyakit, itu merupakan hikmah dibalik pengharaman, bukan illat itu sendiri.    

Dengan demikian sebenarnya haram dan najis adalah dua hal yang berbeda. Haram berhubungan dengan hukum syar’i, sedangkan najis berhubungan dengan sifat benda itu sendiri. Karena berhubungan dengan hukum syar’i maka ketentuannya tidak dapat berubah, sebagaimana ditetapka oleh Syaari’ Allah subahnahu wa ta’ala dalam al-Qur’an maupun Nabi Muhamad saw melalui haditsnya.  Sedangkan Najis, yang berhubungan dengan sifat benda, maka bisa saja diubah sifat benda tersebut sesuai dengan kaedah fiqhiyah. Misalnya, baju yang terkena ompol bayi itu najis, tapi dapat dihilangkan najisnya jika dicuci. Tidak demikian dengan Haram, sekali syariat telah menghukuminya sebagai barang haram, maka keharman itu melekat selamanya dan tidak bisa dihapus. Dimasak dengan cara apapun babi tetap haram.

Untuk lebih jelasnya harus ada batasan antara haram dan najis. Penjelasan inilah yang dalam kaedah fiqih disebut tashawwur yaitu penggambaran sesuatu melalui ta’rif atau definisi.
Adapun batasan haram menurut kitab lathaiful isyarat fil ushulil fiqhiyat halaman 12 adalah:
Artinya: pengertian haram adalah kebalikan dari pengertian wajib. Yaitu sesuatu yang diberikan pahala jika meninggalkannya karena alasan menjunjung perintah. dan disiksa jika melakukannya.

Sedangkan batasan najis menurut kitab nihayatul muhtaj ila syarhi minhaj karya Syekh Ar-Ramly juz I halaman 215 

Artinya: Sebagian ulama memberikan batasan terhadap najis bahwa setiap sesuatu yang haram digunakan secara muthlaq dalam keadaan normal, serta mudah memisahkan bukan karena penghormatan dan bukan karena kotor dan bukan pula karena mudharat terhadap badan ataupun akal.  (disarikan dari buku Muallim Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama Jilid I. )