Kamis, 25 November 2010

Islamic Widget

Dasar Talqin Dzikir

Dasar Talqin Dzikir

Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukan kepada jama’ah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini  didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw telah men-talqin para sahabatnya, baik secara berjama’ah atau perorangan.
Adapun talqin Nabi Saw kepada para sahabatnya secara jamaah sebagaimana diriwayatkan dari Sidad bin Aus RA: ”Ketika kami (para sahabat) berada di hadapan Nabi Saw, beliau bertanya: ”Adakah diantara kalian orang asing (maksud beliau adalah ahli kitab-red), aku menjawab: ”Tidak!” Maka beliau menyuruh menutup pintu, lalu berkata: ”Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah!” Kemudian beliau melanjutkan: ”Alhamdulillah, ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini ”La ilaaha illallah”, Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku Surga karenanya. Dan Engkau sungguh tidak akan mengingkari janji.” Lalu beliau berkata: ”Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.”
            Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwaniy dengan sanad yang sahih, bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahpernah memohon kepada Nabi SAW: ”Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku jalan yang paling  dekat  kepada Allah, yang paling mudah bagi hambanya dan yang paling utama di sisi-Nya!” Maka Beliau menjawab:” Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah La ilaaha illallah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada di atas daun timbangan dan La ilaaha illallahberada di atas daun timbangan yang satunya, maka akan lebih beratlah ia (la ilaaha illallah),” lalu lanjut beliau: ”Wahai Ali, kiamat  belum akan terjadi selama di muka bumi ini  masih ada orang yang mengucapkan kata ’’Allah’’.” Kemudian sahabat Ali  berkata: ”Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut nama Allah?” Beliau menjawab: ”Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya. ”Kemudian Nabi Saw  mengucapakan La ilaaha illallah tiga kali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu sahabat Ali bergantian  mengucapkan La ilaaha illallah seperti itu dan Nabi Saw  mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (La ilaaha illallah).
            Adapun  talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa mengerakkan lisan  dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadz ismudz-dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi Saw dengan sabdanya: ”Qul Allah Tsumma dzarhum” (Katakanlah, ”Allah” lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada  Ash-Shiddiq Al-A’dham (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ) yang mengambilnya secara batin dari Al-Musthofa Saw. Inilah dzikir yang bergaung mantap di hati Abu Bakar Ra. Nabi Saw  bersabda: ”Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap di dalam hatinya.” Inilah dasar  talqin dzikir sirri.
            Semua aliran thariqoh bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada Sayyidina AliKaramallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina Abu Bakar Ra untuk dzikir sirri. Maka kedua beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang.
            Nabi Saw mentalqin kalimah thoyibah ini kepada para sahabat radliallah ‘anhum untuk membersihkan hati mereka dan mensucikan jiwa mereka, serta menghubungkan mereka ke hadirat iIaahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni. Akan tetapi pembersihan dan pensucian  dengan kalimah thoyibahini atau  Asma-asma Allah yang lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali si pelaku dzikir menerima talqindari syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim, terhadap makna Al-Qur’an dan syariat, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam akidah dan ilmu kalam. Dimana syaikhnya tersebut juga telah menerimatalqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikhnya yang agung, yang satu dari syaikh agung yang lainnya sampai kepada Rasulullah Saw.
                

Komite Fatwa Al-Azhar: Ikut Pemilu Sama dengan "Fi Sabilillah"

Komite Fatwa Al-Azhar: Ikut Pemilu Sama dengan "Fi Sabilillah"

Ketua komite fatwa Al-Azhar menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan "kewajiban agama" dan tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut berdosa secara hukum Islam. Mesir akan memulai pemilu parlemen pada 28 November pekan depan dan beberapa kekuatan oposisi telah siap terjun dalam arena pemilu tersebut.
Syaikh Marzouk Syahat, ketua komite fatwa Al-Azhar dalam fatwa singkatnya mengatakan bahwa "seseorang yang keluar dari rumahnya, berniat untuk berpartisipasi dalam pemilu, ia berada di jalan Allah sampai dia kembali," seperti yang dilaporkan situs berita Mesir.
Fatwa ini meruapakan fatwa yang terbaru dalam serangkaian fatwa yang dikeluarkan menjelang pemilihan parlemen Mesir yang akan diselenggarakan pada Ahad depan, 28 November 2010. Fatwa ini juga mendesak rakyat Mesir secara keseluruhan untuk berperan aktif dalam pemilu.
Lembaga fatwa Mesir juga telah mengeluarkan fatwa sejenis yang menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu adalah wajib hukumnya, dan dalam pelaksanaannya jika terjadi kecurangan pemilu, maka hal itu merupakan tindakan Haram yang dilakukan. Namun lembaga Fatwa Mesir menekankan bahwa "tidak boleh menggunakan slogan agama dan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye pemilu, karena hal tersebut sama saja dengan melecehkan agama itu sendiri.(fq/imo)

Takut 'Terjangkiti' Salafi, Tajikistan Panggil Pulang 134 Mahasiswanya di Al-Azhar

Takut 'Terjangkiti' Salafi, Tajikistan Panggil Pulang 134 Mahasiswanya di Al-Azhar

Sebanyak 134 mahasiswa asal Tajikistan yang sedang menuntut ilmu di universitas Al-Azhar Kairo Mesir telah diminta untuk pulang ke negara asalnya, dengan alasan adanya ketakutan pihak pemerintah Tajikistan para mahasiswa tersebut akan 'terjangkiti' gerakan Salafi.
Seorang juru bicara untuk Komite Negara Urusan Agama di Tajikistan kepada media mengatakan bahwa pada hari Senin lalu sebanyak 134 mahasiswa asal Tajikistan yang sedang belajar di Al-Azhar di Kairo telah dipanggil pulang sebagai bagian dari program yang telah diputuskan oleh Presiden Tajik Imam Ali Rahman.
Dia menjelaskan bahwa dimintanya para mahasiswa ini untuk kembali, menyusul adanya kekhawatiran dampak dari tren dikalangan para mahasiswa yang mengikuti gerakan Salafi.
Menurut informasi resmi seperti dilaporkan oleh Agence France-Presse, bahwa lebih dari seribu anak muda asal Tajikistan termasuk 250 anak perempuan yang saat ini tengah menuntut ilmu di Al-Azhar. إNamun, pihak berwenang mengatakan sebagian besar dari mereka tidak mendapat izin belajar sebelum melakukan perjalanan ke Al-Azhar dari Komite Negara.
Presiden Imam Ali pada bulan Agustus lalu telah mengecam lembaga-lembaga Islam di luar negeri, terutama sekolah-sekolah Al-Quran, yang menegaskan alumni dari sekolah-sekolah agama tersebut telah menjadi "teroris" dan menyerukan anak muda Tajik yang sedang belajar untuk kembali ke negara mereka.
Tajikistan dulunya merupakan bagian dari republik Soviet di Asia Tengah. Muslim Sunni membentuk hampir 98% dari seluruh penduduk miskin di negeri ini yang berbatasan dengan Afghanistan. Perlu diketahui bahwa gerakan salafi di Tajikistan telah dilarang oleh Mahkamah Agung pada bulan Januari 2009 sebagai sebuah gerakan ekstremis. (Di Indonesia gerakan Salafi masih dibiarkan oleh Negara walaupun sebetulnya banyak gesekan di masyarakat akibat gerakan ini yang terlalu ekstrim).

Minggu, 21 November 2010

Membela Pancasila, NU Dituduh Kafir


Membela Pancasila, NU Dituduh Kafir

Salah satu inspirasi lahirnya NU adalah semangat kebangkitan Nasional. NU bercita-cita membangun sebuah bangsa dan negara yang merdeka. Bersama kekuatan yang lain, NU berjuang dan merumuskan berbagai landasan berdirinya negeri ini. NU ikut merumuskan Pancasila dan UUD 1945.

NU menjadikan agama sebagai inspirasi mendirikan, mengukuhkan, dan mempertahankan negara. Bagi NU, mempertahankan negara ini wajib hukumnya. Karena itu, NU menolak terlibat dalam Darul Islam (DI/TII) untuk mendirikan negara Islam. Sebaliknya, NU mendukung negara Pancasila yang dipimpin oleh Bung Karno.

Ketika dalam situasi genting, tahun 1954, NU memberikan status pada pemerintah Indonesia dan Bung Karo sebagai waliyul amri dlarury bisy syakah. Gelar ini, dengan demikian, menafikan klaim Kartosuwiryo sebagai Amirul Mukminin. Di mana-mana, NU membuat sistem pertahanan yang dipimpin para Kiai untuk membendung pengaruh DI/TII.

Sikap tegas NU itu membuat marah kelompok Islam garis keras DI/TII, sehingga beberapa pimpinan NU selalu menjadi ancaman teror dan pembunuhan. Bahkan sejak 1949, KH Idham Chalid sebagi salah satu pimpinan NU merasa sering mendapat teror. Menurut penuturan KH Idham Chalid bebarapa kali ia diserang. Suatu hari, saat menginap di Puncak, Kiai Idham diberondong pasukan Darul Islam (DI). Begitu pula ketika ke Yogya, keretanya diberondong pasukan Islam garis keras itu. Oleh DI, NU telah dianggap pengkhianat karena keluar dari Masjumi. Lebih jauh, NU dianggap kafir karena menolak negara Islam DI.

Peristiwa paling dramatis adalah saat para pimpinan NU seperti Idham Chalid, Zainul Arifin bersama Bung Karno melakukan sembahyang Idul Adha di masjid baiturrahim di Lingkungan Istana tahun 1962. Saat itu terjadi penembakan oleh para gerilyawan DI/TII pada para pimpinan negara ini. Dalam insiden tersebut, peci KH Idham Chalid tersambar peluru dan Bung Karno selamat. Sementar tokoh NU, yakni KH Zainul Arifin,yang juga Wakil Perdana Menteri, terkena tembakan, sehingga mengakibatkan mantan panglima Hizbullah itu meninggal dunia.  Di Jawa Barat Selain, beberapa pimpinan NU banyak diserang teror, bahkan ada yang gugur dibantai oleh Pasukan DI.

NU dianggap kafir karena mendukung pemerintah RI. Oleh DI, negeri ini disebut sebagai Republik Indonesia Kafir. Ini tentu berbeda dengan pandangan KH Ahmad Shiddiq bahwa penerimaan NU terhadap Negara Republik Indonesi tidak bersifat politis dan taktis, melainkan bersifat ideologis, syar’i. Merupakan kewajiban syariah, sehingga tidak tepat  kalau dituduh oportunis oleh kaum modernis terutama para simpatisan DI/TII.

Mengenal Uang Kertas dalam Perspektif Islam


Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter samapai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.

Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.

Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian  mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.

Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas

Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman  yakni dia membayarku harga dengan tunai.

Kata uang  (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.

Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya.  Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.

Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.

Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.

Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.

Jumat, 19 November 2010

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?


Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?


Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri.
Disebutkan dalam firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.
Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
 “Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.
Wallahu a’lam bi al-shawab

Hukum Hadiah Pahala


Hukum Hadiah Pahala
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.
Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil yang ada, seharusnya perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan elegan.
Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini lengkap dengan dalil yang mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan Anda mau yang mana, semua kembali kepada Anda masing-masing.
Kalau kita cermati pendapat yang berkembang di tengah umat Islam, paling tidak kita mendapati tiga pendapat besar yang utama.
1.  Pendapat Pertama: Pahala Tidak Bisa Dikirim-kirim kepada Mayit

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.
Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya`
`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan`
`Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan mendapat siksa yang dikerjakannya`.
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya` .
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/ dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
2. Pendapat Kedua: Ibadah Maliyah Sampai dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai

Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah (badan/fisik) dan ibadah maliyah (harta). Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Malik.
Hadiah Bacaan Alqur’an Dalam Madzab Imam syafi’i
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar (dipilih) yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).

Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
2.       Pendapat Ketiga: Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit.
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a.       Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah-bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.
.
b.       Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan,
Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya.
c. Doa Saat Ziarah Kubur
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, Ucapkan: . .
d. Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
e. Sampainya Pahala Saum untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.
f. Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
g. Membayarkan Hutang Mayit
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.
h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Al-Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudara mereka yang telah wafat.
Dipandang dari segi dalil pendapat ketiga ini lebih mengakomodasi (mengamalkan) dalil lebih banyak dalam masalah ini (dalam istilah Fiqh dikenal dengan istilah Ajma’u/lebih akomodatif). Sekaligus dalil yang dipakai pendapat ketiga  ini sebagai nasikh (pengganti, istilah ushul fiqh) dari dalil pendapat pertama dan kedua. Karena dalam perjalanannya hukum Islam pada zaman nabi Muhammad bisa berganti dengan perputaran waktu seiring dengan turunnya wahyu atau hadits Nabi.
Dalam pendapat ketiga ini timbul pertanyaan, ketika pahala amal/ibadah telah dihadiahkan kepada ahli kubur, apakah yang melakukan ibadah (yang telah dihadiahkan) masih dapat pahala atau tidak?? Ada dua pendapat :
1.       Yang melakukan ibadah tak dapat pahala lagi, karena telah dihadiahkan.
2.       Yang melakukan Ibadah masih dapat pahala amalan tersebut, paling tidak dapat pahala karena telah berbuat baik dengan memberikan hadiah pahala ibadah tersebut. Sebagaimana kita memberikan hadiah benda (kado misalnya) kepada kawan kita, kita tak dapat menikmati lagi kado tersebut tapi kita dapat pahala dengan pemberian hadiah tersebut.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam. Perlu di ingat bahwa ketiga pendapat diatas adalah hasil ijtihad ulama’ atas dalil yang ada. Hasil ijtihad bila benar dua pahala, bila salah satu pahala. Kata  Gus Dur (almaghfurlah) gitu aja kok repot?????
Wallahu a’lam bish-shawab,

Hukum Hadiah Pahala


Hukum Hadiah Pahala
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.
Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil yang ada, seharusnya perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan elegan.
Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini lengkap dengan dalil yang mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan Anda mau yang mana, semua kembali kepada Anda masing-masing.
Kalau kita cermati pendapat yang berkembang di tengah umat Islam, paling tidak kita mendapati tiga pendapat besar yang utama.
1.  Pendapat Pertama: Pahala Tidak Bisa Dikirim-kirim kepada Mayit

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.
Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya`
`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan`
`Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan mendapat siksa yang dikerjakannya`.
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya` .
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/ dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
2. Pendapat Kedua: Ibadah Maliyah Sampai dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai

Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah (badan/fisik) dan ibadah maliyah (harta). Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Malik.
Hadiah Bacaan Alqur’an Dalam Madzab Imam syafi’i
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar (dipilih) yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).

Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
2.       Pendapat Ketiga: Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit.
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a.       Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah-bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.
.
b.       Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan,
Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya.
c. Doa Saat Ziarah Kubur
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, Ucapkan: . .
d. Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
e. Sampainya Pahala Saum untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.
f. Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
g. Membayarkan Hutang Mayit
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.
h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Al-Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudara mereka yang telah wafat.
Dipandang dari segi dalil pendapat ketiga ini lebih mengakomodasi (mengamalkan) dalil lebih banyak dalam masalah ini (dalam istilah Fiqh dikenal dengan istilah Ajma’u/lebih akomodatif). Sekaligus dalil yang dipakai pendapat ketiga  ini sebagai nasikh (pengganti, istilah ushul fiqh) dari dalil pendapat pertama dan kedua. Karena dalam perjalanannya hukum Islam pada zaman nabi Muhammad bisa berganti dengan perputaran waktu seiring dengan turunnya wahyu atau hadits Nabi.
Dalam pendapat ketiga ini timbul pertanyaan, ketika pahala amal/ibadah telah dihadiahkan kepada ahli kubur, apakah yang melakukan ibadah (yang telah dihadiahkan) masih dapat pahala atau tidak?? Ada dua pendapat :
1.       Yang melakukan ibadah tak dapat pahala lagi, karena telah dihadiahkan.
2.       Yang melakukan Ibadah masih dapat pahala amalan tersebut, paling tidak dapat pahala karena telah berbuat baik dengan memberikan hadiah pahala ibadah tersebut. Sebagaimana kita memberikan hadiah benda (kado misalnya) kepada kawan kita, kita tak dapat menikmati lagi kado tersebut tapi kita dapat pahala dengan pemberian hadiah tersebut.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam. Perlu di ingat bahwa ketiga pendapat diatas adalah hasil ijtihad ulama’ atas dalil yang ada. Hasil ijtihad bila benar dua pahala, bila salah satu pahala. Kata  Gus Dur (almaghfurlah) gitu aja kok repot?????
Wallahu a’lam bish-shawab,