Jumat, 29 Oktober 2010

haji dan fenomena kemiskinan


Haji dan Fenomena Kemiskinan


Haji adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah).

 Berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji ini dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dikalangan masyarakat Indonesia sendiri lebih akrab dengan sebutan Hari raya haji atau hari raya kurban, karena perayaan ibadah haji ini juga ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.

Dahulu pada masa nabi Muhammad saw. ada seorang miskin yang ingin menunaikan ibadah haji. Ia rupanya telah mengumpulkan semua biaya ibadah haji itu selama 20 tahun. Namun, ketika dalam perjalanan mulia menuju makkah, ia menyaksikan banyak kaum muslimin yang sedang dilanda kemiskinan dimana-mana. Tak tega melihat saudara-saudaranya yang seiman sedang membutuhkan bantuan, ia pun kemudian mengurungkan niatnya untuk ziarah ke makkah. Selanjutnya Ia bagi-bagikan semua hartanya kepada mereka. Persoalan itu kemudian sampai ketelinga nabi dan nabi pun haru mendengarnya. Selanjutnya nabi bersabda " Hajimu sah dan kamu berhak masuk syurga".

Kisah ini memang kurang dikenal oleh umat islam Indonesia. Pemahaman agama yang mereka ketahui selama ini sebatas pemahaman bahwa haji adalah ziarah ke baitullah lahir dan bathin sebagai syarat penyempurnaan iman seseorang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Indonesia mencapai 17,9 persen. Menurut Bank Dunia, kemiskinan mencapai hampir separuh rakyat Indonesia, 49 persen. Ini menunjukkan angka yang cukup fantastis sebagai Negara yang kaya raya akan sumber daya alamnya.

Bank Dunia mencatat, penghasilan separuh penduduk Indonesia di bawah dua dollar AS. Itu baru data kemiskinan, belum lagi jumlah pengangguran murni, semi pengangguran, dan orang yang terancam PHK (dirumahkan). Dari data kemiskinan itu akan diikuti derita sosial, seperti tingginya putus sekolah, mudah terjangkit wabah penyakit, perceraian, kriminalitas tinggi, dan konflik sosial kian rawan.

Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah daerah-daerah yang terkena bencana alam. Bahkan, Hingga kini masih banyak dari mereka yang belum bisa keluar dari kesulitan hidup. Pertanyaannaya kemudian pantaskah mereka menghambur-hamburkan uang dengan meninggalkan saudaranya yang masih membutuhkan ?

Salah satu syarat dari diperbolehkannnya seseorang menunaikan haji adalah bahwa perjalaan dalam keadaan aman dan tidak dalam kondisi perang. Jika dimaknai secara social bangsa kita sedang mengalami peperangan yang cukup dahsyat dengan berbagai fenomena kemiskinan yang semakin parah. Ini adalah perang terhadap kemiskinan dan siapapun tidak sah menunaikan ibadah haji jika kondisi Negara dalam keadaan tidak aman.

Konteks sosial ini seharusnya bisa mendorong umat Muslim untuk berani menafsirkan ibadah haji secara subtansial. Dimana haji tidak harus difahami secara tekstual. Akan tetapi akan lebih baik jika dimaknai dengan kontekstual/realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Artinya, masyarakat disekitar kita yang sedang mengalami kesulitan hidup mau tidak mau sangat membutuhkan uluran tangan kita. Terutama bagi orang-orang yang mampu untuk haji. Yang dalam hal ini kemudian dinamakan haji sosial. Merujuk pada kisah diatas maka tidak ada salahnya jika pemerintah menekan para jamaah haji terutama yang sudah berulang kali agar semua dana kenberangkatan di hibahkan kepada fakir miskin. Haji sosial adalah haji yang amat mulia, dicintai fakir miskin dan diridhoi Allah. Inilah sebenarnya haji mabrur.

Sekali lagi, andaikata pemahaman tentang perlunya haji sosial ini bisa diterapkan di kalangan umat Islam, penderitaan saudara-saudara Muslim akan bisa dikurangi. Pemerintah tidak perlu minta bantuan negara lain dengan menjual kemiskinan dan bencana alam. Berbagai kebutuhan sosial kemanusiaan itu bisa dipenuhi dari rakyat Indonesia sendiri melalui haji sosial.

Mungkin haji sosial inilah yang dalam bahasa sufinya termasuk ibadah yang dirahasiakan (sirri). Orang yang berani berhaji sosial berarti sudah mampu melepaskan diri dari kungkungan formalisme agama dan merambah jalan baru memasuki cita-cita sosial yang menjadi misi utama agama.

Jauhnya pemahaman agama pada dimensi subtansial karena manusia sering dilingkupi dengan berbagai kepentingan duniawi.

Haji bukan hanya urusan surga dan neraka, tetapi memiliki pengaruh sosial yang tinggi dan prestise. Haji secara duniawi sering dimaknai sebagai puncak pencapai ibadah dan stempel kuat bahwa pelakunya pasti bermoral tinggi lagi mulia.

Fenomena prestise dan status sosial inilah yang mendorong kuat bagi muslimin bahwa jika ingin menjadi orang berkualitas tinggi ibadahnya harus pergi haji ke Mekkah. Apa pun jalannya harus ditempuh.

Maka, tidak aneh sering ditemukan, banyak pejabat yang minta fasilitas negara agar bisa naik haji. Para koruptor juga berlomba untuk bisa berulang kali haji dan umroh. Para petani harus menjual sawah dan ladang dan rela menjadi miskin setelahnya asal bisa pergi haji.

Itu semua dilakukan karena ibadah haji bisa dijadikan bungkus atas ketidakberesan moralitas sosial manusia. Sehingga makna haji yang sesungguhnya tidak kita temukan. Dalam hal ini pemerintah harus bisa selektif dalam memberangkatkan jamah haji. Pemetrintah tidak perlu lagi untuk membiayai para pejabat-pejabatnya menunaikan haji dengan pembiayaan uang Negara, karena hal itu lebih bersifat pemborosan dan akan lebih baik jika dana yang berjumlah besar itu digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Itu akan lebih baik dari pada memfasilitasi para koruptor untuk meraih titel haji yang dengan hajinya itu nanti akan lebih leluasa menjadi tikus berpeci putih. Wallaahu a’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar