Jumat, 19 November 2010

Hukum Hadiah Pahala


Hukum Hadiah Pahala
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.
Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil yang ada, seharusnya perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan elegan.
Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini lengkap dengan dalil yang mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan Anda mau yang mana, semua kembali kepada Anda masing-masing.
Kalau kita cermati pendapat yang berkembang di tengah umat Islam, paling tidak kita mendapati tiga pendapat besar yang utama.
1.  Pendapat Pertama: Pahala Tidak Bisa Dikirim-kirim kepada Mayit

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.
Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya`
`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan`
`Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan mendapat siksa yang dikerjakannya`.
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya` .
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/ dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
2. Pendapat Kedua: Ibadah Maliyah Sampai dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai

Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah (badan/fisik) dan ibadah maliyah (harta). Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Malik.
Hadiah Bacaan Alqur’an Dalam Madzab Imam syafi’i
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar (dipilih) yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).

Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
2.       Pendapat Ketiga: Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit.
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a.       Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah-bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.
.
b.       Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan,
Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya.
c. Doa Saat Ziarah Kubur
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, Ucapkan: . .
d. Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
e. Sampainya Pahala Saum untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.
f. Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.
g. Membayarkan Hutang Mayit
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.
h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Al-Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudara mereka yang telah wafat.
Dipandang dari segi dalil pendapat ketiga ini lebih mengakomodasi (mengamalkan) dalil lebih banyak dalam masalah ini (dalam istilah Fiqh dikenal dengan istilah Ajma’u/lebih akomodatif). Sekaligus dalil yang dipakai pendapat ketiga  ini sebagai nasikh (pengganti, istilah ushul fiqh) dari dalil pendapat pertama dan kedua. Karena dalam perjalanannya hukum Islam pada zaman nabi Muhammad bisa berganti dengan perputaran waktu seiring dengan turunnya wahyu atau hadits Nabi.
Dalam pendapat ketiga ini timbul pertanyaan, ketika pahala amal/ibadah telah dihadiahkan kepada ahli kubur, apakah yang melakukan ibadah (yang telah dihadiahkan) masih dapat pahala atau tidak?? Ada dua pendapat :
1.       Yang melakukan ibadah tak dapat pahala lagi, karena telah dihadiahkan.
2.       Yang melakukan Ibadah masih dapat pahala amalan tersebut, paling tidak dapat pahala karena telah berbuat baik dengan memberikan hadiah pahala ibadah tersebut. Sebagaimana kita memberikan hadiah benda (kado misalnya) kepada kawan kita, kita tak dapat menikmati lagi kado tersebut tapi kita dapat pahala dengan pemberian hadiah tersebut.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam. Perlu di ingat bahwa ketiga pendapat diatas adalah hasil ijtihad ulama’ atas dalil yang ada. Hasil ijtihad bila benar dua pahala, bila salah satu pahala. Kata  Gus Dur (almaghfurlah) gitu aja kok repot?????
Wallahu a’lam bish-shawab,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar