Sabtu, 07 Mei 2011

Mewaspadai Bisnis Aktivasi Otak


Nama anak laki-laki itu Robert Duncan O’Finioan. Lahir pada tahun 1960 di kota kecil negara bagian Kentucky, Amerika Serikat. Tidak seperti anak-anak lainnya yang menghabiskan masa kanak-kanaknya yang indah, penuh permainan, dan canda tawa; sejak berusia lima tahun Robert telah direkrut CIA—tentunya secara rahasia—untuk dipersiapkan menjadi bagian dari apa yang dikemudian hari disebut sebagai proyek MK-Ultra. Ironisnya, hal ini bermula dari kedua orangtua Robert sendiri.
Kisahnya berawal dari berdirinya satu lembaga semacam aktivasi otak tengah di dekat rumahnya di Kentucky. Saat melintas di tempat itu, orangtua Robert melihat banyak sekali anak-anak kecil berusia antara lima hingga duabelas tahun bermain di sana. Merasa tertarik, kedua orangtua Robert akhirnya membawa Robert dan mendaftarkan anaknya itu untuk bisa ikut serta di dalam pelatihan di lembaga tersebut.
Di hari pertama, sang instruktur dengan sangat manis dan lemah lembut bertanya pada Robert kecil, apakah dia ingin bermain seperti anak-anak lainnya? Dengan mata berbinar-binar Robert menganggukkan kepalanya. Sang orangtua tentu saja gembira. Dengan suka rela mereka menyerahkan anaknya kepada instruktur tersebut yang segera memboyong anak tersebut ke dalam ruangan tertutup. Kedua orangtua Robert kembali ke rumah, meninggalkan Robert kecil masuk ke dalam ruangan didampingi sang instruktur yang baru saja dikenalnya.
Di dalam ruangan telah ada sejumlah anak seusianya sedang asyik menulis atau menggambar sesuatu. Sang instruktur kemudian memberikan Robert beberapa helai kertas dan juga pensil berwarna dan meminta anak itu untuk menggambar apa pun yang dikehendaki. Robert pun mulai menggambari kertas putih tersebut. Sang instruktur berjalan mondar-mandir di antara meja dan kursi yang penuh berisi anak-anak kecil.
Robert Duncan dan puluhan anak kecil yang ada di ruangan tersebut, termasuk para orangtuanya, tidak menyadari jika sang instruktur ternyata seorang spesialis Brain Programming yang dengan kekuatan pikirannya mampu mempengaruhi otak orang lain, terlebih anak-anak. Sambil berkeliling ruangan, sang instruktur berusaha menjadikan otaknya sebagai transmiter atau pemancar yang memancarkan gambaran beberapa struktur bangunan sederhana, seperti lingkaran, segitiga, dan persegi empat, dan menyebarkan gambaran itu ke seluruh ruangan agar bisa ditangkap oleh anak-anak tersebut.
Dengan bahasa sederhana, sang instruktur mengirimkan sugesti kepada anak-anak di seluruh ruangan itu, untuk menggambarkan apa yang ada di dalam benaknya. Dia lalu berkeliling ruangan untuk mengamati siapa saja di antara anak-anak itu yang dapat menangkap pesannya dan siapa yang tidak. Robert ternyata mampu menangkap pesan itu. Sebab itu, Robert dan beberapa anak yang berbakat lainnya dipilih dan dimasukkan ke dalam sesi pelatihan khusus tanpa sepengetahuan orangtua mereka.
Di kemudian hari, apa yang dilakukan sang instruktur ini diketahui sebagai “Talent Project”, yang merupakan salah satu bagian dari proyek besar bernama MK-Ultra.
Anak-anak yang terpilih kemudian dilatih secara khusus sehingga mereka tidak saja memiliki dua kepribadian, bahkan empat kepribadian, multiple personality. Setiap anak diberikan satu anchor atau kata kunci, berupa kata, gambar, atau bunyi tertentu, di mana setiap anchor akan mengaktifkan kepribadian atau peran tertentu yang harus dilakukan sang anak. Robert Duncan O’Finioan saat itu disiapkan secara khusus bersama anak-anak berbakat lainya untuk dijadikan tentara masa depan, yang bisa diaktifkan user-nya kapan pun dibutuhkan.
Mereka melewati berbagai proyek percontohan seperti Talent Project yang merupakan operasi rahasia untuk menemukan anak-anak yang berbakat khusus, lalu Phoenix Project—kelanjutan Talent Project yang akan menciptakan anak-anak berbakat khusus itu untuk menjadi unit tempur spesial yang mampu memukul musuh dan bahkan membunuhnya dengan cara-cara yang tidak lazim, dan kemudian Ultimate Warrior Project sebagai tahap terakhir dimana semua anak yang telah lulus melewati rangkaian seleksi akan dijadikan Tentara Super yang memiliki kemampuan supranatural.
Semua proyek bersifat rahasia. Bahkan di dalam internal CIA sendiri, hanya beberapa orang petinggi yang mengetahuinya.
Salah satu operasi milier yang pernah diikuti oleh Robert Duncan ketika masih berusia 13 tahun adalah menolong satu kompi pasukan reguler Amerika yang terkepung di Kamboja tahun 1970-an. Dalam satu operasi hitam (Black Operation), Robert bersama sebelas anak lainnya berusia 7-12 tahun diterjunkan dari helikopter. Begitu mereka diturnkan dari helikopter, peluru musuh berdesingan, namun ajaib, tak satu pun yang terkena.
Dipimpin Robert Duncan, mereka membentuk formasi setengah lingkaran lalu secara serentak mengangkat tangan ke atas. Terlihat cahaya menyilaukan dari tangan mereka seperti lampu blitz. Pada saat itu juga semua musuh mati bergelimpangan, dan tentara AS pun selamat. Ini kisah seperti kisah fiktif. Namun beberapa sumber mengatakan jika hal ini adalah benar adanya. Kalau pun tidak dirilis secara umum, karena ini menyangkut satu test-case bagi proyek rahasia.
Kisah nyata tentang Robert Duncan O’Finioan bisa kita lihat disitus pribadinya (www.duncanofinioan.com). Kisah Duncan juga disinggung secara panjang lebar dalam buku yang ditulis Richard Claproth, Ph.D, seorang praktisi Hipnoterapi dan Pakar Past Life Regression, berjudul “Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah: Menguak Kontroversi Aktivasi Otak Tengah & Hipnosis Massal Secara Investigatif” (2010).
Di Indonesia, lembaga-lembaga pelatihan, aktivasi, optimalisasi, atau apa pun namanya yang menawarkan ‘anak bisa jenius dalam waktu singkat’ beberapa tahun belakangan ini tumbuh bagai jamur di musim hujan. Biayanya pun mencapai jutaan rupiah. Jika kita mencermati sistem dan strategi pelatihannya, semuanya mirip dengan apa yang telah Robert alami dahulu. Apakah fenomena ini terkait dengan Mind Controlling atau Mind Programming yang memang telah diteliti dan dikembangkan CIA sejak era Perang Dunia II? Apakah ini merupakan salah satu bagian dari konspirasi mereka dalam mempersiapkan prajurit-prajurit masa depan untuk menyongsong kedatangan Dajjal di akhir zaman?
Sebut saja dia sebagai Fulan. Dua anaknya masih bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta. Tiap pergi dan pulang kerja, Fulan selalu melewati jalan yang sama. Awalnya Fulan tidak memperdulikan sebuah spanduk berwarna kuning yang selalu digantung di depan sebuah ruko di tepi jalan. Namun suatu sore, ketika jalan yang dilaluinya macet, Fulan tanpa sengaja membaca spanduk itu. Tiba-tiba dia tertarik. Spanduk itu menawarkan sebuah program yang mengklaim mampu untuk membuat anak jenius dalam waktu singkat. Awalnya Fulan ragu, namun tulisan “Garansi Sampai Bisa” membuatnya tergoda untuk mampir ke ruko tersebut. Fulan pun membelokkan kendaraannya ke parkiran ruko itu untuk mencari tahu apa saja yang ada di dalam pelatihan tersebut.
Seorang ibu dengan ramah menerimanya. Kepada Fulan, ibu tersebut menyatakan jika lembaganya merupakan lembaga aktivasi otak anak yang dapat membuat anak menjadi jenius dalam jangka waktu singkat, hanya dalam hitungan hari. Untuk lebih meyakinkan Fulan, sang ibu tersebut memanggil seorang anak perempuan, sebut saja Jane, kelas enam sekolah dasar.
Di depan Fulan, ibu tersebut menutup kedua mata Jane dengan Blindfold, sebuah penutup mata yang terbuat dari kain yang diikat tali di kedua sisinya. Lalu setelah matanya ditutup , ibu tersebut menyodorkan sebuah bahan bacaan. Ternyata walau dengan mata tertutup, Jane mampu membacanya dengan lancar. Bukan itu saja, Jane juga mampu memilih bola dari dalam keranjang besar, sesuai dengan warna yang disebutkan ibu tadi, lalu Jane juga mampu menyebutkan warna-warna bola yang ada, kemudian Jane pun disuruh mewarnai sebuah gambar—masih dengan mata tertutup—dan berhasil.
Fulan tentu saja takjub. Dia tidak habis mengerti bagaimana anak sekecil Jane bisa memiliki “keistimewaan” tersebut.
“Setelah mengikuti semua pelatihan kami, semua anak bisa seperti Jane,” ujar ibu itu setengah berpromosi tanpa lupa menyebutkan jika lembaganya berkomitmen semua anak akan bisa menjadi jenius dengan garansi sampai bisanya. “Jika setelah ikut pelatihan anak bapak belum optimal seperti Jane, kami membuka kelas remedial dan anak bapak bisa terus mengikuti kelas ini sampai berhasil. Kami menggaransi anak bapak sampai bisa dan semuanya gratis.”
Tanpa berpikir panjang, Fulan yang memang ingin membuat anaknya secerdas Einstein—jika bisa, tentu saja—mendaftarkan salah satu anaknya ikut pelatihan tersebut. Walau untuk itu dia harus merogoh kocek dalam-dalam karena pelatihan yang hanya beberapa hari itu ternyata biayanya mahal, mencapai angka jutaan rupiah.
“Untuk masa depan anak, apa pun akan aku lakukan,” ujar Fulan di dalam hati. Tadinya Fulan ingin mendaftarkan kedua anaknya secara bersamaan, namun keterbatasan dana membuatnya harus memilih prioritas. “Biarlah si kecil nanti menyusul”
Maka anak paling tua Fulan yang sudah kelas enam pun ikut serta dalam pelatihan tersebut. Beberapa hari kemudian, pelatihan dinyatakan selesai. Anak Fulan ternyata belum bisa membedakan warna bola dan membaca dengan mata tertutup, padahal beberapa anak lainnya tampak bisa melakukan itu.
“Tenang Pak, anak bapak bisa mengikuti remedial sampai bisa. Gratis. Tempatnya di sini juga…,” ujar ibu tadi. Fulan yang tadinya ingin protes sekarang hanya bisa menggerutu. Ekspektasinya ternyata terlalu tinggi terhadap lembaga tersebut.
Suatu waktu, Fulan menceritakan hal tersebut kepada teman kerjanya. Tak disangka, temannya ini memiliki pengalaman serupa. Dia bilang jika instruktur lembaga tersebut mengatakan kepadanya bahwa anaknya kurang konsentrasi sehingga anaknya tidak optimal di dalam pelatihan.
“Sampai sekarang, walau sudah mengikuti remedial enam bulan, anak saya masih saja tidak bisa membaca dengan mata tertutup. Saya jadi lelah sendiri, akhirnya saya hentikan saja tanpa hasil,” ujarnya seraya mengatakan jika embel-embel “Garansi Sampai Bisa” hanya sebagai tipuan promosi saja. Tidak lebih.
Perasaan senasib sepenanggungan ternyata membawa Fulan dan kawannya tersebut ke sebuah komunitas korban lembaga aktivasi otak. Di dalam komunitas tersebut mereka berbagi kisah tentang penipuan yang dilakukan lembaga-lembaga aktivasi otak yang banyak bermunculan di Indonesia. Ada yang mengaku setelah anaknya ikut dalam pelatihan, ternyata dia bisa melihat dimensi lain alias melihat mahluk ghaib yang menakutkan, ada yang anaknya gagal membaca dengan mata tertutup menjadi depresi karena malu dengan teman-temannya, dan lain sebagainya.

*
Kisah si Fulan dan para orangtua lainnya seperti di atas merupakan kisah nyata. Mereka tertipu oleh promosi yang dilakukan banyak lembaga aktivasi otak yang dilakukan secara gencar, terdengar amat menjanjikan dan meyakinkan, namun ternyata malah menjadikan anak-anak mereka sebagai “kelinci percobaan”. Richard Claproth, Ph.D, di dalam bukunya “Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah” (2010) memaparkan ciri-ciri kegiatan aktivasi otak mana saja yang harus dicurigai sebagai sebuah penipuan. Ciri-ciri ini sama persis dengan kegiatan aktivasi otak yang dilakukan CIA terhadap Robert Duncan O’Finioan di tahun enampuluhan. Ciri-ciri ini antara lain:
Pertama, program ini sama-sama menargetan anak-anak usia amtara 5-12 tahun dengan memakai embel-embel "berbakat", "talent", dan "Jenius";
Kedua, selama program berlangsung di dalam ruangan yang tertutup, orangtua sama sekali tidak boleh berada di dalam ruangan tersebut;
Ketiga, program ini tidak menjamin bahwa semua anak yang ikut pelatihan akan berhasil. Jika tidak berhasil, dikatakan jika anak ini tidak memiliki bakat, dan oleh karena itu tidak bisa menjadi jenius;
Keempat, dahulu diperlukan seorang instruktur yang memiliki kemampuan memancarkan sinyal melalui pikirannya, mirip telepati. Sekarang, dalam program aktivasi otak tengah, sang instruktur tidak lagi perlu mempunyai kemampuan tersebut karena program transmisinya bisa dilakukan dengan melalui sinyal audio dan visual. Sang instruktur cukup memutar audio atau video untuk didengarkan oleh anak-anak yang akan diaktivasi. Sinyal ini yang ditangkap oleh anak-anak kita dan masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya, yang dimanipulasi dengan nama "Otak Tengah".
Kelima, dahulu perubahan kepribadian dilakukan dengan memberikan rasa sakit kepada seorang anak, sehingga ia harus memilih kepribadian mana yang ia sukai. Kini perubahan dilakukan dengan permainan yang menyenangkan dan melalui gambar-gambar  yang merangsang retina mata yang selanjutnya merangsang otak. Anak-anak dipuji-puji, diminta meneriakkan yel-yel sehingga ia tidak merasa malu dan percaya diri.
Keenam, dahulu untuk membawa seorang anak ke alam bawah sadar diperlukan semacam narkotika, maka kini dilakukan dengan membawa kesadarannya ke level alfa dan teta melalui teknologi tinggi yakni video dan suara yang disebut sebagai binaural beats.
Ketujuh, dahulu dan sekarang cara aktivasi finalnya masih belum berubah, yakni setiap anak diberikan anchor.
Kedelapan, beberapa orangtua menyatakan bahwa dalam waktu enam bulan setelah anaknya diaktivasi, karakternya banyak berubah menjadi negatif.
Delapan butir ciri yang menandakan jika aktivasi otak tengah (juga istilah lainnya yang berkenaan dengan optimalisasi otak) mirip dengan apa yang dilakukan CIA terhadap Duncan O’Finioan. Richard Claproth, Ph.D, bahkan berani menyatakan jika tujuan aktivasi otak ini sama sebangun dengan apa yang diinginkan oleh Talent Project, MK Ultra, atau apa pun namanya.
Tidak Semua Anak Bisa
Di dalam brosurnya, lembaga aktivasi otak (apakah itu berkedok aktivasi otak tengah, optimalisasi otak, pelatihan otak, dan sebagainya) dengan bombamtis menyatakan jika mereka mampu menggaransi semua anak bisa dioptimalkan atau diaktivasi otaknya sehingga memiliki potensi jenius. Semua anak bisa dioptimalisasikan. Bahkan bagi anak yang setelah pelatihan masih dianggap kurang optimal, disediakan kelas khusus remedial yang bisa diikuti gratis.
Ini iklannya, baik yang dicetak di dalam brosur maupun yang diucapkan orang-orang mereka sewaktu menggelar pertemuan dengan para orangtua. Bagaimana faktanya?
Menurut Profesor Richard Claproth, dan juga kesaksian banyak orangtua yang telah mengikutsertakan anaknya dalam pelatihan jenis ini, janji-janji manis pihak penyelenggara pelatihan ternyata tidak sepenuhnya benar.
Misal, ada lembaga pelatihan otak yang menulis jika mereka akan menjadikan anak yang sudah dilatihnya: “mampu menghafal satu buku dalam 24 jam, mampu melihat dengan mata tertutup, mampu mengerjakan soal-soal matematika tersulit sekali pun, mampu denan mudah mempelajari bahasa-bahasa asing, dan sebagainya”, namun dengan hanya menyediakan waktu pelatihan dalam hitungan hari atau yang dibagi dalam beberapa termin dalam jangka waktu satu-dua bulan, ternyata tidak semua materi diberikan kepada anak-anak didik.
Di awal pelatihan, anak dibagikan modul berupa buku bahasa Inggris, buku matematika, sempoa, dan lainnya, namun di dalam pelatihan, buku-buku dan alat tersebut tidak dipakai sama sekali, atau kalau pun dipakai hanya sebagai formalitas saja. Akibatnya, setelah pelatihan dinyatakan selesai, anak tetap tidak bisa apa-apa. Biasanya, setelah itu pihak penyelenggara akan berkilah dengan mengadakan kelas remedial secara gratis. Memang, kelas ini bisa diikuti secara gratis, namun tanpa tujuan pencapaian yang jelas sehingga orangtua yang mengikutsertakan anaknya dalam kelas remedial akan kelelahan sendiri mengantar anaknya ke tempat pelatihan yang beum tentu jaraknya dekat dengan rumah, apalagi kelas remedial biasanya dilakukan pada hari-hari libur sehingga banyak menyita waktu kebersamaan antara orangtua dengan anak. Yang seharusnya keluarga bisa bepergian atau rekreasi menjadi terhalang karena kelas remedial yang tidak tentu juntrungannya.
Karena kelelahan, akhirnya orangtua dengan sendirinya menghentikan pelatihan remedial ini bagi anaknya tanpa hasil yang jelas. Tentu saja, pihak penyelenggara akan mudah berkilah jika orangtua itu sendiri yang salah.
Dalam berbagai kasus, walau pihak penyelenggara menjanjikan semua anak bisa diaktivasi atau dioptimalisasi otaknya, ternyata kenyataannya TIDAK SEMUA ANAK BISA. Ada yang memang sungguh-sungguh penipuan, namun ada pula yang mengklaim sebagai pelatihan yang sudah melewati serangkaian kajian ilmiah, namun mereka sama-sama tidak jujur dalam mengemukakan realita yang ada. Semua orangtua sudah mengeluarkan biaya yang mencapai angka jutaan rupiah, dan ini bukan jumlah yang kecil, namun ketika anaknya gagal mencapai target pelatihan, maka pihak penyelenggara dengan mudah akan mengatakan jika anak tersebut tidak berbakat, tidak bisa berkosentrasi, tidak ini dan tidak itu.
Dengan mudahnya pihak penyelenggara mengatakan itu semua dan uang jutaan rupiah yang sudah kita berikan tentunya tidak bisa kita minta kembali. Istilahnya, uang sudah amblas tapi hasil nol besar. Ini benar-benar bisnis dengan profit besar, namun ada sisi penipuan di dalamnya. Para orangtua hendaknya lebih waspada dan tidak mudah tergiur dengan janji-janji manis pihak penyelenggara.
Jika pun ingin mengikutsertakan anaknya dalam pelatihan otak ini, seharusnya antara orangtua dengan pihak penyelenggara mengikat diri dalam satu perjanjian hitam di atas putih yang legal secara hukum, dengan tujuan pencapaian yang jelas, dalam berapa kali pertemuan si anak dijamin bisa mencapai kemampuan apa misalnya, dan janji dari pihak penyelenggara jika anak ternyata tidak bisa, maka seluruh biaya pelatihan yang sudah dikeluarkan oleh orangtua akan diberikan seratus persen. Jadi, orangtua harus menuntut GARANSI UANG KEMBALI 100%, bukan Garansi Sampai Bisa. Karena kalau garansi sampai bisa, orangtua akan kelelahan sendiri karena belum tentu walau lima tahun ikut kelas remedial terus-menerus, si anak akan mempunyai kemampuan istimewa. Tidak semua anak bisa, ini intinya.
Hari ini, berbagai lembaga pelatihan otak menggelar pertemuan demi pertemuan, preview demi preview, dari ruangan mewah di hotel-hotel berbintang sampai di kelas-kelas atau di ruko-ruko kumuh, dalam rangka menarik sebanyak-banyaknya orangtua agar mau mengikutsertakan anaknya dalam pelatihan tersebut. Para orangtua harus ekstra waspada karena banyak sekali lubang-lubang jebakan yang ditebar oleh pihak penyelenggara yang dibungkus dalam kata-kata dan kalimat-kalimat manis yang ada di dalam buku-buku strategi marketing tingkat dasar.
Apalagi, dalam kacamata konspirasi dunia yang juga diyakini kalangan intelektual seperti halnya Profesor Richard Claproth, kegiatan-kegiatan ini diduga kuat merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Mind Programing atau Program Pengendalian Pikiran, yang salah satunya adalah hendak menjadikan anak-anak sebagai ‘unit pasukan khusus’ atau ‘orang-orang yang nantinya bisa dikomandoi atau diperintah mereka’, pada saat yang dikehendaki.
Bagi yang ingin menelusuri hal ini lebih jauh, bisa googling dengan mengetikan kata “MK-Ultra”, “Project Talent”, “Mind Control”, dan sebagainya. Berbagai buku ilmiah pun sudah ditulis para pakar dan bisa diperoleh dengan mudah di berbagai toko buku besar. Berhati-hatilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar