Kamis, 21 Juni 2012

RAHASIA ALLAH ATAS SI KAYA DAN SI MISKIN

Perjalanan hidup adalah skenario takdir, sulit diikuti, sukar pula untuk kita jelajahi episode episode berikutnya. Menapaki satu persatu tangga takdir tidak semudah memainkan alat musik yang dapat dengan mudah kita intuisikan dengan setiap ritme kegemaran.
Sangat manusiawi dalam hidup menginginkan selalu berkecukupan, namun tentunya harus direnungkan, keinginan adalah ritme manusia bukan ritme penciptanya. Lalu di mana letak rahasia itu tersimpan ?
Marilah kita rekam sekaligus kita renungkan hikmah dan renungan QS. as-Syuura sebagai paket spesial al-Qur'an dalam memahami makna dan artikulasi antara hamba berizqi dan berkekurangan.  Allah berfirman dalam ayat ke 19 :
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (19)”
 Dalam pandangan Ja'far bin Muhammad bin Aly bin Husain, Allah bersikap lembut terhadap makhluqnya dalam pemberian rizqi dapat ditinjau dari dua arah. Pertama, Allah memilihkan rizqi untuk hamba hambanya dari hal hal yang baik. Kedua, rizqi tidak diberikan dalam satu tempo sekaligus, akan tetapi dianugerahkan dengan jalan bertahap. Sehingga dengan itu makhluq tidak akan menyia nyiakan (tabdzir) pada rizqi yang telah diberikan.
Allah menganugerahkan rizqi kepada siapapun yang dikehendaki Nya. Terkadang melebihkan rizqi seseorang dari pada orang lain. Ini bukan berarti bentuk ketidak adilan atau kedzaliman. Hikmah yang dapat dipetik dari ini adalah keseimbangan kehidupan yang berlangsung di muka bumi. Perbedaan dalam pendapatan rizki akan dapat menciptakan kondisi saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. 
Yang merasa kaya akan membutuhkan tenaga seseorang dalam mengelola harta bendanya. Sebaliknya, yang berkekurangan akan dapat menyumbangkan tenaganya demi hajat mereka atas harta si kaya.
Di sisi lain dapat pula kita fahami, bahwa kekayaan dan kefakiran adalah bentuk cobaan. Bagaimana si kaya bersikap kepada yang fakir dan apa sikap yang ditampakkan si fakir terhadap yang kaya. Kemudian akan dapat dilihat seberapa besar kesabaran mereka dalam menanggung cobaannya masing masing.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (20)” 
 Sebagaimana diungkapkan Al Qusyairi, ayat ini adalah sebuah peringatan bagi setiap manusia agar tidak terbujuk oleh kehidupan dunia seperti yang telah terjadi pada orang orang kafir.
Imam Qatadah menyampaikan pemahaman menarik mengenai ayat ini. Beliau mengatakan, pada hakekatnya Allah akan tetap selalu memberikan apapun yang manusia inginkan dari kepentingan dunia selama orientasi hidupnya tetap dalam bingkai kepentingan akhirat. Dan sebaliknya, manusia hanya akan mendapatkan jatah duniawi belaka tatkala orientasi hidupnya hanyalah untuk urusan dunia. Allah telah berjanji, selama seorang hamba masih teguh memperjuangkan amal-amal akhirat, Dia akan selalu menambahkan pahala demi pahala, sekaligus menjamin porsi rizki yang tertulis untuknya. Sedangkan bagi mereka yang melalaikan akhirat, sibuk memakmurkan dunia, maka hanya penantian siksa yang akan menjadi 
jatahnya kelak dan ia pun tidak kuasa mendapatkan lebih kecuali atas porsi rizki dunianya.
Tujuan final dari amal dan perilaku kita atas dunia adalah akhirat. Segala bentuk tindakan yang terarahkan pada tujuan ini, sekalipun bernafaskan duniawi, Allah menjajikan kelipatan pahala perbuatannya tanpa mengenyampingkan kepentingan dunianya. Namum manakala tujuan ini telah berbalik arah, menempatkan dunia sebagai tempat tujuannya, maka siksa yang telah diancamkan Alloh akan menanti. Sebagaimana ancaman Allah terhadap orang orang kafir Makkah yang telah menuruti tuntunan dan bisikan teman sekutunya (syaitan). Seperti yang tertuang dalam ayat berikut.
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih (21) Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa mereka. Dan orang-orang yang saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar(22).”
Perjuangan menanamkan kasih sayang nampak disinggung bagi Nabi. Allah juga menyerukan kepada Nabi untuk meminta kaum Quraysh menghentikan segala permusuhan dan hidup dalam kebersamaan. Dan sebagai contoh langsung bentuk amal yang berorientasikan akhirat murni, Alloh menyerukan kepada Rosululloh untuk tidak menuntut imbalan atas usahanya dalam menyampaikan risalah.
Allah telah menjanjikan “karunia yang besar”, dan bukan itu saja, dijanjikan pula pahala yang besar bagi mereka yang mau beramal kebaikan dengan kelipatan pahala di akhirat. Sedangkan bagi mereka yang tetap asyik dengan kekafirannya, telah diperingatkan akan adanya siksa yang teramat pedih. Kecuali bagi mereka yang mau bertaubat dan menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Allah, penyesalan dan taubat mereka tidak akan pernah disia siakan Alloh. Hal ini bisa kita simak dalam ayat selanjutnya :
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (23) Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah”. Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu; dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al Qur'an). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati (24) Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan (25) dan Dia memperkenankan (do`a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”(26).
Memantapkan nilai hikmah yang terkandung dalam beberapa ayat di atas, Allah juga berfirman dalam ayat ke 27 :
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”.
 Dengan hikmah dari ayat ini, sekarang dapat kita rasakan betapa Allah adalah Sang Maha Pengatur yang tidak ada duanya. Ritme kehidupan terasa begitu indah kita jalani. Mungkin perasaan kita bertanya-tanya, di mana letak kekeliruan manusia dalam tindakan yang melampaui batas ketika mereka dianugerahi nikmat harta yang sepadan ?.
Para mufassir telah menelaah hal ini dalam beberapa sudut pandang rasional.
Pertama, andai saja terjadi semua manusia memiliki kelapangan rizki sepadan, niscaya tidak ada lagi istilah membutuhkan maupun dibutuhkan, yang artinya tidak akan ada interaksi. Interaksi adalah keseimbangan, sehingga musnahnya interaksi adalah terganggunya keseimbangan kehidupan dan kemaslahatan.
Kedua, spesifikasi ayat ini adalah untuk bangsa Arab, dimana ketika mereka semua diberikan nikmat rejeki yang sama, dengan air 
 hujan mereka sudah mendapatkan kesegaran, dari tumbuh-tumbuhan mereka sudah bisa menghilangkan rasa lapar dan dari segala apa yang ada semua menjadi surga, maka niscaya sehari-harinya mereka hanya akan menjadi penjahat dan perompak yang menjarah kekayaan orang lain.
Ketiga, selain kedua hal di atas, manusia memiliki tabiat asli yang berupa kesombongan dalam dirinya. Sehingga ketika manusia merasakan nikmat kaya raya dengan harta yang melimpah ruah, niscaya mereka akan kembali pada tabiat aslinya, menjadi penyombong. Sedangkan ketika berada pada posisi kesulitan, tertimpa bencana dan kesedihan mendalam dengan serta merta mereka akan bersikap tawadlu' dan taat.
Ibn Abbas mengatakan, manusia dikatakan melampaui batas karena mereka akan selalu memburu kedudukan yang lain setelah memperoleh kedudukan yang ia raih, bersaing mendapatkan kendaraan, setelah kendaraan yang lain ia dapatkan dan berlomba busana setelah ia miliki busana mewah yang lain.
Sebuah maqalah mungkin akan menyadarkan kita; “Andai saja manusia diberikan sesuatu yang banyak niscaya ia meminta yang terbanyak dan andaikan dia telah kuasai dua tambang emas ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan tambang yang ketiga”.
Kesempitan dalam rizki bukanlah suatu kehinaan, dan kelapangan dalam rizki bukanlah suatu keutamaan. Segala apa pun yang diperbuat Alloh akan selalu dalam bingkai “maslahat”, meskipun itu bukan suatu keharusan bagi Nya. Allah maha tahu atas apa yang terbaik dan yang dibutuhkan hambanya. Seorang mu'min dianugerahi kelapangan rizki, karena Allah tahu bahwa itu yang terbaik untuknya. Andai saja ia diberi kesulitan dalam hal rizki, mungkin justru ia akan berbuat 
kerusakan. Dan seorang mu'min dianugerahi kesempitan dalam rizki, karena Allah pun tahu bahwa itu yang terbaik untuknya. Andai saja ia diberi kelapangan rizki, mungkin justru ia akan berbuat kerusakan. Menyesatkan dirinya sendiri dan melalaikan tugasnya sebagai hamba Allah.
Menurut sebagian tafsiran, ayat di atas terkait dengan pemahaman ayat ke 28, di mana Allah berfirman :
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji“.
 Maksudnya, seandainya Allah memberikan limpahan rizki berupa hujan yang terus menerus mengguyur muka bumi, niscaya manusia tidak akan mengangkat kedua tangannya untuk memohon kepada Allah. Sehingga dapat kita lihat, adakalanya manusia menengadahkan kedua tangannya dengan bersimpuh dan di lain waktu mereka membuka kedua tangannya untuk bersyukur. Hingga kemudian Allah menegaskan dalam ayat ke 28 bahwa hujan maupun kekeringan di bumi adalah hikmah ketuhanan, dimana Allah menunjukkan kekuasaanNya setelah semua makhluk tidak mampu berbicara dan berputus asa untuk mendatangkan setetes air penyejuk bumi. Allah pun menyebarkan rahmat yang menurut sebagian tafsiran berupa berkah dan manfaat air hujan yang bisa kita saksikan dengan jelas di julangan gunung, jurang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk bumi lainnya. Sungguh besar kekuasaan Allah, Tuhan semesta alam…! wallahu ‘almu.
Disadur dari berbagai sumber kitab tafsir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar