Kamis, 26 Juli 2012

MENGGUGAT PRODUKTIFITAS UMAT SAAT PERPUASA

Kata puasa searti dengan kata as-Shaum (bahasa Arab) yang secara etimologis bermakna al-Imsak, menahan diri. Hal ini sesuai dengan realita orang berpuasa yang senantiasa menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti, makan, menenggak minuman, menghisap rokok, bersetubuh dan lain-lain. Kata al-Imsak juga biasa dikumandangkan saat tiba waktu dimulainya puasa setelah sahur. Dalam bahasa jawa kata puasa didialekkan dengan poso,yang berarti nopo-nopo mboten kerso, tidak mau apa-apa, dalam hal ini berarti tidak mau melakukan hal-hal yang merusak nilai puasa. Arti ini sesuai dengan makna Puasa dalam terminologi fiqhiyah, yaitu menahan diri dari makan, minum, jimak dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sesuai dengan apa yang telah menjadi pakem dalam ketentuan fiqh.

Sepintas lalu ibadah puasa terasa aneh, bagaimana tidak, makan, minum dan hubungan suami-isteri yang mulanya halal dan bahkan termasuk klasifikan ibadah, menjadi haram hukumnya bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Keanehan itu semakin terasa ketika ibadah puasa dianalisis secara logis-kritis, ternyata malah mengurangi produktifitas umat Islam. Tidak dapat dipungkiri, puasa akan berekses semi-kondusif bagi kondisi fisik as-Shaim, ekses tersebut berupa rasa lapar, lemas, ngantuk, dan kurang bergairah.
Dalam kondisi seperti itu, otomatis produktifitas seseorang akan menurun. Kebanyakan orang yang.
sedang berpuasa juga tidak mau ngoyo dalam menjalankan aktifitasnya. Hal itu terpaksa ditempuh untuk menjaga keutuhan puasanya, agar tidak gugur, ter-hipnotis oleh rasa lapar dan dahaga. Dus, dalam beraktifitaspun, orang-orang seperti ini tidak akan maksimal
Ditambah lagi, konon ada riwayat yang menjelaskan bahwa Naumus Shaimi Ibadatun, tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Riwayat ini sering dijadikan justifikasi oleh tipe orang-orang yang dijelaskan di atas, untuk tidak terlalu banyak membuang keringat saat beraktifitas selama menjalankan ibadah puasa. Tipe orang-orang seperti itu akan semakin terninabobo-kan oleh riwayat itu. Pas sudah, dalam kondisi perut yang sedang keroncongan dan dangdutan serta dalam keadaan dahaga yang mengerat tenggorokan, ada dalil yang dapat menjadi pelipur lara, yang melegalkan mereka tidur. Seperti kata pepatah, Pucuk dicinta ulampun tiba, di saat perut sedang lapar dan tenggorokan kering kerontang, dipersilahkan untuk tidur, dapat pahala lagi. Tidur memang merupakan satu-satunya pelarian yang sangat efektif bagi orang yang sedang lapar dan haus. Karena di dalam tidur, seseorang tidak merasakan lapar dan haus, begitu bangun, waktu maghrib sudah dekat dan bayangan makanan-minuman yang selama seharian penuh dikhayalkan, sudah siap disantap. Sehingga waktu puasapun, seolah-olah hanya sepanjang kedipan matanya saat hendak tidur.
Kalau ini yang terjadi, maka secara matematis dapat dikalkulasikan, produktifitas umat Islam akan terdegradasi. Jam kerja yang seharusnya delapan jam dikurangi menjadi enam jam, itupun kerjanya menggunakan prinsip asal-daripada [asal kerja daripada tidak samasekali]. Tentu saja hal ini kontra-produktif dengan etos kerja yang senantiasa dikampanyekan Islam.
Islam menganjurkan umatnya untuk selalu, selalu dan selalu bekerja. Bahkan, dalam sebuah riwayat dijelaskan, Nabi pernah menyeru kita, umat Islam, untuk terus bekerja keras, seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya. Jangan hanya karena perintah untuk tidak makan dan minum (baca: puasa) sehari saja, produktifitas kita sebagai orang Islam menurun. Saya  yakin Allah SWT menurunkan syari’at puasa bukan untuk menjadikan hamba-Nya lemah dan manja. Secara eksplisit Allah telah menjelaskan bahwa tujuan dikeluarkannya Undang-Undang puasa (Syari’at puasa ) adalah untuk menjadikan orang-orang mukmin lebih bertaqwa kepada-Nya.
Ketakwaan tidak akan terealisir jika kita hanya menjalankan ibadah puasa-puasaan, apalagi dalam menjalankan perintah puasa itu produktifitas kita sebagai seorang muslim menjadi tereliminir. Sudah selayaknya puasa dibarengi dengan hal-hal lain yang lebih produktif dari hari-hari non-puasa, baik yang bersifat teosentris maupun antroposentris.
Bahkan, Nabi sendiri telah menandaskan dalam haditsnya, Shumuu Tashihuu, berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat. Apa makna sehat di sini? Selain memang secara medis puasa dapat me-refresh kinerja lambung manusia (sehingga dia sehat),
kata sehat dalam hadits tersebut juga mengandung tuntutan bagi kita, orang yang sedang berpuasa, untuk beraktifitas laiknya orang sehat, bukan laiknya orang-orang yang kelaparan dan/atau ngantukan. Meskipun sedang berpuasa, seorang muslim harus bregas, tidak lunglai layaknya pohon kapuk yang sudah lapuk. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi dan Sahabatnya, mereka berperang dengan orang kafir di medan Badar sembari berpuasa, tidak ada satupun diantara mereka yang sambatan lapar, haus atau ngantuk. Karena memang mereka sadar bahwa puasa bukan merupakan suatu halangan untuk tetap tampil prima, bahkan mereka yakin, dengan kondisi puasa seperti itu maka Allah semakin dekat kepada mereka.
Uswah Nabi mengandung ibrah yang sangat mulia bagi orang yang sedang berpuasa. Hendaknya kita tidak menjadikan puasa sebagai alibi tempat bersembunyi dari tuntutan produktifitas sebagai umat Islam. Justru sebaliknya, melalui momen puasa ini, inkreasi produktifitas merupakan suatu keniscayaan. Momen Ramadhan merupakan tambang pahala bagi kita, umat Islam. Setiap amal perbuatan baik, pahalanya dilipatgandakan oleh Allah SWT. Alangkah besar pahala yang akan kita peroleh,
jika dapat mengisi Ramadhan kali ini dengan hal-hal baik yang sudah kita lakukan sebelum Ramadhan dan menyulapnya menjadi amal ibadah yang lebih intensif lagi di bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan ini. Dengan begitu tidak ada alasan untuk enak-enakan tidur saat bulan Ramadhan.
Mengenai riwayat, tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, jika kita telisik lebih mendalam lagi, maka kita akan mendapati bahwa parameter-komparasi riwayat tersebut adalah berkata-kata yang dapat mengurangi nilai keabsahan puasa. Dari pada menggunjing orang atau menebarkan fitnah, lebih baik tidur saja. Jadi, riwayat tersebut sama sekali bukan merupakan justifikasi pembolehan tidur saat puasa, sementara di lain pihak produktifitas kita sebagai seorang muslim menurun. Boleh-boleh saja kita tidur dalam bulan puasa, asalkan kualitas dan kuantitas aktifitas serta produktifitas kita tidak lebih buruk dari hari-hari dimana kita tidak berpuasa. Menurut hemat penulis, tidur saja dihukumi ibadah, apalagi aktifitas dan produktifitas yang lebih bermanfaat dari tidur, hanya Allah Yang Maha Tahu pahala semua itu. Kenapa kita tidak tergerak untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat dari pada tidur, padahal Allah menjajikan pahala yang sangat besar untuk itu semua.
wallahu a’lam . semoga bermanfaat, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar